PUTUSAN Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mencabut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Televisi Digital merupakan momentum yang tepat untuk menata ulang pemakaian kanal frekuensi digital. Putusan itu memberi pelajaran bagi pemerintah bahwa tata kelola frekuensi publik mesti dilaksanakan melalui persiapan matang.
Sikap tergesa-gesa pemerintah dalam merencanakan digitalisasi siaran televisi sudah terlihat sejak awal. Peraturan Menteri No. 22/2011 yang dikeluarkan pada era Menteri Tifatul Sembiring itu tidak memiliki payung hukum karena Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, yang menjadi landasan kebijakan tersebut, belum mengatur tata kelola televisi digital.
Di tengah regulasi yang belum pasti, pemerintah menetapkan 33 perusahaan sebagai pemenang tender penyelenggaraan multipleksing. Salah satu tugas mereka: membangun stasiun pemancar dan menyewakan kanal frekuensi digital kepada lembaga penyiaran lainnya. Ironisnya, aturan dan biaya sewa frekuensi ini tidak jelas.
Pemenang tender juga didominasi para konglomerat media. Mereka inilah yang bertahun-tahun menyalahgunakan frekuensi analog untuk kepentingan mereka. Terpilihnya perusahaan televisi swasta itu melenceng dari semangat awal digitalisasi siaran yang justru ingin memberikan akses pemakaian frekuensi bagi lembaga penyiaran hingga ke tingkat lokal dan komunitas.
Putusan PTUN yang membatalkan penyelenggaraan siaran digital ini layak mendapat sokongan karena memang bukan zamannya lagi segelintir perusahaan menguasai frekuensi publik seperti yang terjadi di masa silam. Kini pemerintah dan DPR harus segera merevisi Undang-Undang Penyiaran. Hal ini penting untuk memastikan ketentuan tentang siaran televisi digital diatur dengan jelas dalam undang-undang. Payung hukum diperlukan agar kebijakan digitalisasi tidak putus di tengah jalan.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara selanjutnya harus memastikan penyelenggaraan multipleksing tidak diserahkan kepada perusahaan media. Di beberapa negara yang sudah mengembangkan siaran digital, penyelenggaraan multipleksing diberikan kepada perusahaan telekomunikasi yang memiliki jaringan infrastruktur. Hal ini, misalnya, terjadi di Australia saat negeri itu pada 2003 melakukan migrasi dari sistem analog ke digital.
Migrasi siaran analog ke teknologi digital penting dilakukan karena berpotensi menumbuhkan diversifikasi program siaran. Pada siaran digital, satu kanal bisa digunakan enam hingga 12 kanal program siaran. Pemerintah bisa menjamin keberagaman isi siaran (diversity of content) dengan mengatur komposisi format siaran dan segmentasi setiap kanal program.
Kementerian Komunikasi juga mesti memastikan distribusi kanal digital dilakukan secara transparan. Langkah ini untuk mendorong munculnya keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran (diversity of ownership) yang pada akhirnya menciptakan kompetisi untuk menghasilkan siaran yang berkualitas. ***