Putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto semakin menunjukkan adanya standar ganda dalam penanganan kasus praperadilan. Bertolak belakang dengan perkara Komisaris Jenderal Budi Gunawan, kali ini hakim menolak secara tegas penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
Kasus di Purwokerto memang mirip kasus Budi Gunawan. Seorang tersangka korupsi bernama Mukti Ali juga mengajukan permohonan pembatalan statusnya sebagai tersangka. Bedanya, Mukti ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Banyumas, Jawa Tengah, dalam kasus korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp 50 juta. Adapun Budi dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap dan gratifikasi saat ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier di Deputi Sumber Daya Manusia Markas Besar Polri.
Permohonan Budi Gunawan akhirnya dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan ini kemudian menimbulkan kontroversi. Sedangkan nasib Mukti Ali dalam sidang yang digelar di PN Purwokerto, Jawa Tengah, berbeda. Hakim Kristanto yang mengadilinya menyatakan secara tegas dan jelas: penetapan tersangka tidak bisa digugat lewat praperadilan.
Kristanto mengutip Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan bahwa pengadilan berwenang memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penuntutan. Kitab undang-undang itu tidak memasukkan status tersangka sebagai obyek praperadilan. Putusan Kristanto seolah meluruskan lagi penerapan aturan praperadilan.
Obyek praperadilan sempat menjadi kabur setelah hakim Sarpin mengabulkan gugatan Budi Gunawan. Padahal gugatan Budi jelas menyangkut penetapan dirinya sebagai tersangka, hal yang tidak diatur dalam KUHAP. Idealnya, penghapusan status tersangka memang hanya bisa dilakukan di pengadilan atau oleh penegak hukum sendiri lewat penghentian perkara, dan bukan oleh praperadilan. Jika semua tersangka bisa menggugat lewat praperadilan, betapa kacau proses penegakan hukum.
Itulah yang perlu dibenahi oleh Mahkamah Agung. Lembaga ini tidak boleh pula membiarkan adanya standar ganda dalam penerapan hukum. Permohonan Budi Gunawan dikabulkan, tapi permohonan Mukti Ali ditolak. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA harus memeriksanya untuk mengetahui kesalahan dalam penerapan hukum. Yang paling mungkin dilakukan adalah menurunkan tim investigasi untuk meneliti dugaan penyimpangan yang dilakukan Sarpin. Proses ini bisa sejalan dengan penyelidikan yang tengah digelar Komisi Yudisial soal kemungkinan terjadinya pelanggaran etika.
Upaya MA meluruskan penerapan hukum yang keliru akan lebih mudah bila Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan permohonan peninjauan kembali atas kasus Budi Gunawan. Putusan praperadilan di Purwokerto merupakan salah satu contoh penerapan aturan yang benar. Tidaklah bijak KPK bersikap menyerah dan membiarkan penerapan hukum yang keliru dalam kasus Budi Gunawan.