Mereka yang pergi ke Yokohama, dengan baju seragam, topi aneh, muka dicat, dan siap untuk mengeluarkan suara dan bunyi yang terus-menerus, adalah elemen penting Piala Dunia: penonton sebagai sebuah tontonan. Televisi telah mengubah banyak hal di dunia: kini tribun adalah parade, pertandingan adalah show multipentas, dan kesadaran menyaksikan adalah kesadaran disaksikan.
Pada zaman yang oleh Woody Allen direkam dalam Radio Days, sebuah film dengan nostalgia tentang hari-hari sebelum diciptakan televisi, semua itu tak akan terjadi. Ketika itu jarak visual seperti jarak antara dua tata surya, dan masih banyak penggemar yang membayangkan bahwa di balik suara serak-lembut Nat "King" Cole ada seraut wajah yang berkulit putih. Pertandingan di Melbourne akan dilaporkan lewat RRI, dan di Meulaboh orang akan mengikuti mulut seorang pelapor yang luar biasa, karena ia bisa bicara secepat tembakan mitraliur, untuk menceritakan ke mana Ramang lari pada saat Kiat Sek menendang. Para pendengar siap dengan kuping yang 100 persen siaga.
Bagi kita yang di Klaten atau Meulaboh, penonton tak ada. Mereka jauh di balik tirai, dalam peran yang sebenarnya bisa ditiadakan. Penonton hanyalah seberkas suara latar, seperti musik perkusi yang terkadang gemuruh di sebuah sandiwara radio yang seru. Bila si penyiar berteriak, orang-orang di sekitar transistor Philips itu akan ikut berteriak, dan bila ia bersuara kecewa, karena gol ternyata luput ditembakkan, orang-orang itu akan bersuara kecewa. Sesungguhnya mereka itu orang yang beriman: mereka ada karena mereka percaya. Bagi mereka, pembawa pesan yang tak pernah mereka lihat itu tak akan sedikit pun berdusta.
Televisi dan jangkauan satelit dari luar angkasa telah menyisihkan pentingnya persoalan berdusta atau tak berdusta. Di Merauke orang bisa mengikuti pertandingan antara Brasil dan Jerman dengan cara seksama dan dalam tempo yang seketika, meskipun sang penyiar cuma berbahasa Urdu. Bagi yang duduk di depan pesawat televisi, sang penyiar adalah suara latar. Kita, dengan mata kepala sendiri, bisa melihat gocekan bola Ronaldinho dan apa yang tidak dilakukan Beckham. Pada zaman Radio Days, bahkan sang penyiar, yang berada di sebuah boks di atas tribun sekian ratus meter dari lapangan, tak akan bisa menengok kembali, apalagi dengan teliti (bagaimana radio membuat close-up?) benarkah Ahn Jung-hwan tadi berdiri "opset". Sebuah replay membuat waktu menjadi ruang: kita bisa mengunjunginya kembali. Sebuah replay membuat ingatan menjadi kejadian: masa lalu berlangsung dalam masa kini.
Maka mereka yang pergi ke Yokohama sebenarnya bukanlah pergi untuk menonton Piala Dunia. Kata "penonton" telah berubah makna. "Penonton" adalah kita yang tak hadir di sekitar lapangan itu, kita yang menyaksikan apa saja yang menarik atau penting di pertandingan, malah di seantero stadiontermasuk menengok benarkah wajah Rustu Recber terluka, dan melirik Scolari yang merengut di luar garis. Justru ribuan orang yang datang ke Yokohama dan duduk di tribun itu tak akan menemukan detail itu, apalagi mengikuti sebuah replay. Mereka melihat, tapi tak menyaksikan. Mereka berperan lain. Panggung memerlukan mereka sebagai unsur visual, seperti barisan pohon dan bukit dalam film Lord of the Rings.
Tapi mereka juga pemain figuran, seperti tentara dalam film perang Napoleon. Mungkin mereka mirip khoros dalam teater kuno Yunani, meskipun sebetulnya tidak. Khorossebaris sosok yang mengucapkan kata-katabisa berlaku sebagai warga dalam sebuah polis, "negeri" atau "madinah". Mereka berkomentar, mengekspresikan perasaan, bahkan memberi petuah kepada si peran utama, dan membentuk panggung jadi civil society. Dibandingkan dengan itu, para suporter yang datang ke Piala Dunia lebih berupa suatu kelimun, himpunan orang banyak yang dalam bahasa Inggris disebut crowd. Kelimun itu bukan bagian dari dialog. Tubuh dan tabuh mereka itu sendiri sebuah pesan. The medium is the message.
Di situ ada satu unsur pokok, yaitu ritme. Ritme menyatukan kolektivitas dengan menumbuhkan satu derap. Ritme itu terbit dari gerak tubuh dan emosi, melalui proses mimetik, tapi ritme pula yang membangun emosi. Dengan ritme, kelimun itudan ini tampak pada ribuan orang yang mengibarkan bendera, menabuh gendang, mengentakkan kaki, meneriakkan lagu dengan tiga atau empat patah kataadalah sebuah propaganda. Ritme memberinya bentuk yang jelas, gampang, tegas, menyentuh perasaan, dan agresif.
Sebab itu acapkali orang takutsebagaimana orang takut kepada suporter Inggris. René Girard mengajukan satu teori yang terkenal, bahwa pada mulanya adalah kelimun, kemudian terjadi korban, dan kekerasan pun diberi dalih. Pembunuhan tampak halal, mitos lahir, dan kebudayaan mulai. Seperti Girard, saya juga punya teori, kali ini tentang peradaban, dan dengan menggunakan layar televisi: di Piala Dunia itu, setelah propaganda mengaum, setelah fanatisme memekik, setelah serang-menyerang terjadi, setelah kartu kuning dan kartu merah dikeluarkan, dan satu pihak tersingkir dan kecewa, sesuatu pun dijadikan korban, agar bencana tak terjadi.
Korban itu adalah selembar kaus. Di akhir pertandingan, Ronaldo atau Klose akan mencopotnya dan memberikannya kepada pemain lawan. Benda ini identitasku, ia bagian dari narsisme dalam diriku, ia berbau keringatku dan kena sedikit panu di kulitku, tapi ia kulepas, kuberikan kepadamu. Ada sesuatu yang lebih berarti ketimbang puak dan kolektivitas, yakni kau dan aku, manusia di luar tim yang saling bersalaman. Lawan bukanlah musuh, dan manusia, makhluk yang bermain, tak usah malu untuk tak senantiasa bersungguh-sungguh.
Goenawan Mohamad