AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT BUDAYA DAN SENI
Saya beberapa kali mengikuti upacara Nyepi untuk menyambut Tahun Saka. Beberapa minggu sebelum memasuki Nyepi, masyarakat Bali selalu membuat ogoh-ogoh, atau boneka besar (ogoh artinya besar, gede). Boneka ini berbahan bambu, jerami, dan kertas, yang bentuknya menggambarkan butha kala (makhluk jahat). Ratusan banjar di seluruh Bali menciptakan ogoh-ogoh ini.
Lantaran hal-hal jahat adalah bagian yang paling menakutkan masyarakat Bali, presentasi ogoh-ogoh menjadi sangat artikulatif. Perwujudan ogoh-ogoh dibikin sejahat-jahatnya, seseram-seramnya, segarang-garangnya, sehingga orang yang melihat akan terentak untuk kemudian membenci sebenci-bencinya. Dan lantaran kejahatan di Indonesia semakin hari semakin besar kadarnya, ogoh-ogoh yang dicipta semakin tahun juga semakin besar ukurannya. Bahkan sering terlihat ogoh-ogoh yang tingginya seatap rumah.
Yang menarik, di balik ogoh-ogoh raksasa itu, kini tercipta ogoh-ogoh mini, yang tingginya sekitar satu meter saja. Ogoh-ogoh kecil ini ternyata diciptakan oleh anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Lho, kok anak-anak ikut-ikutan bertempur melawan kejahatan? Maka terdengarlah kompilasi jawaban para bocah itu.
”Karena sekarang anak-anak juga dijahati. Anak disiksa orang dewasa, dipekerjakan seenaknya. Banyak pemerintah daerah yang tidak mempedulikan sekolah anak-anaknya yang reyot dan nyaris ambruk. Banyak infrastruktur untuk menuntut ilmu tidak dibangun, sehingga anak-anak harus meniti jembatan penuh bahaya untuk menuju ke sekolahnya. Tak sedikit guru-guru yang melakukan pelecehan seks serta memberi hukuman yang keterlaluan kepada anak-anak, suatu hal yang membuat antaranak punya kebiasaan mem-bully.”
Ribuan ogoh-ogoh itu pada malam sebelum Nyepi lantas diarak. Puluhan ribu orang Bali mengusung dan menggoyang-goyang patung makhluk jahat itu dengan tetabuhan menimpali seru. Patung-patung itu diteriaki, dihina, dan dipukuli beribu kali. Lalu di situ dapat kita melihat, betapa ogoh-ogoh ternyata terbangun dari isu sosial yang sedang dominan.
Ketika bom Bali menghancurkan kehidupan orang Bali, ogoh-ogoh itu berbentuk figur teroris yang keji. Ketika narkotik marak, ogoh-ogoh itu berwujud butha gila yang memakan sampah. Ketika polisi sang penjaga rakyat (justru) merusak ketenteraman, ogoh-ogoh bergigi panjang dan berkuku tajam itu bertopi polisi. Ketika korupsi menjadi-jadi seperti sekarang, butha kala memakai jas parlemen mendadak muncul di jalanan.
Arak-arakan usai saat hampir tengah malam. Di bawah langit Bali yang hening, setelah ditaburi doa-doa pengusir setan, patung-patung yang seram namun artistik itu, yang dibangun dari upaya ngayah (gotong-royong), dan dari setumpuk uang hasil urunan sukarela warga, dibakar habis. Musnahlah kejahatan. Kemudian upacara Nyepi berlangsung dalam keheningan.
Dalam Nyepi, saya lantas berpikir ke belakang. Sekitar 70 tahun lalu, ketika antropolog Margaret Mead meminta para seniman daerah Batuan melukiskan sisi-sisi kegelisahan kehidupan, yang muncul di kertas adalah jejak leak yang berkelindan di sekitar rumah dan banjarnya. Kini leak-leak itu, sebagaimana tampak dalam presentasi ogoh-ogoh, nyata sudah ngider ke seluruh Indonesia Raya. *