Aris Setiawan Esais, Pengajar di ISI Solo
Di Surabaya, Slamet Abdul Sjukur, satu dari segelintir komponis kontemporer kita, telah pergi untuk selamanya, kemarin. Slamet Abdul Sjukur-sering kami panggil Mas Slamet-adalah sosok yang sangat serius menjalani hidup di dunia musik.
Suatu saat, terjadi perdebatan sengit antara dirinya dan petugas kelurahan. Komponis nyentrik itu berkeras menuliskan "musik" sebagai nama agamanya dalam formulir pembuatan KTP baru. Bagi Slamet, lebih daripada sekadar urusan nada dan dinamika, musik merupakan sumber dari segala kehidupan. Semua hal dinilai musikal, bahkan detak jantung kita tak lebih daripada ritme musik.
Slamet menemukan pembebasan lewat musik, lirik, alunan nada, dan harmoni yang tercipta. Ia percaya bahwa satu bunyi bisa mengungkap seribu kata yang penuh makna. Musik membuat manusia tanggap akan sesama. Ironisnya, musik merupakan sejenis zat yang tak kasat mata (intangible), tak terlihat, tak bisa diraba, serta hanya mampu didengar dan dirasakan. Karena itu, musik sering ditempatkan sebagai referensi kedua setelah yang terlihat (tangible).
Lewat bukunya Virus Setan (2012), Slamet mengkritik Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar yang bagus dan mentereng-sampai-sampai wakil presiden saat itu (Jusuf Kalla) memujinya setinggi lain-tapi miskin dalam perencanaan akustik musikalnya. Baik plafon, dinding, lantai, tembok, bentuk, ukuran, maupun bahan yang digunakan, semuanya memantulkan bunyi. Saat petugas mengumumkan keberangkatan pesawat, yang terdengar hanya gaung yang menenggelamkan informasi penting itu. Akibatnya, banyak penumpang yang ketinggalan pesawat.
Bagi Slamet, perbedaan antara musik dan bunyi hanya terletak pada kemampuan kita untuk mencernanya sebagai sebuah musik. Bisa saja bunyi dibiarkan sebagai bunyi jika kita tidak memiliki kemampuan budaya untuk mendengarkannya. Slamet telah melegalkan pembebasan musik dari segala ikatan budaya. Semua bunyi adalah musik. Kepekaan merasakan suara dari yang paling tak bersuara, merasakan bunyi dari yang tak berbunyi, adalah puncak estetika musik yang paling indah. Diam pun musik.
John Cage (1952) pernah menjadi perbincangan panas saat mengadakan konser musik tanpa suara dan bunyi, Silence alias diam. Dihujat pada zamannya, Cage dipuja di kemudian hari. Slamet adalah bagian dari orang-orang yang "tak normal" itu.
Institusi pendidikan seni yang punya andil dalam hal ini, di mata Slamet, semakin membuat masyarakat bodoh. Peserta didik hanya diajarkan cara bermain musik dengan baik, menuruti pakem yang menetapkan mana yang indah, benar, baik, dan sebaliknya dalam sebuah musik.
Penolakan Slamet pada hukum-hukum pembakuan musik menyebabkan ia dikenal sebagai "dosen pecatan". Kegiatannya mengajar selalu berakhir dengan pemecatan karena pemikirannya yang melawan arus utama. IKJ (Jakarta), STSI Surakarta, dan UPI Bandung adalah contohnya.
Beberapa waktu belakangan, ia selalu mendengung-dengungkan konsep "minimax" dalam musik. Mini berarti kecil dan max berarti maksimal. Artinya, hal-hal kecil dan sepele itu mampu menelurkan karya yang maksimal, kalau tak boleh dikata besar dan monumental.
Bagi Slamet, hukum dan pakem adalah kekangan kreativitas yang harus dirobohkan. Musik bukan untuk dikotak-kotakkan, melainkan lahir dari kedalaman batin yang mampu memberi pengalaman berharga melebihi dogma agama apa pun. Kini, dunia musik kontemporer Indonesia berduka.