Firdaus Cahyadi, aktivis lingkungan
"Kesaksian mereka tidak netral, analisis ilmiah dipakai untuk membela tambang semen," kata Sukinah, perwakilan ibu-ibu penolak tambang semen di Rembang, seperti ditulis oleh portal berita Tempo.co (22 Maret 2015). Bulan ini, Universitas Gajah Mada (UGM) digruduk oleh masyarakat Rembang. Mereka kecewa atas kesaksian akademikus UGM yang terkesan membela perusahaan semen yang akan menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat.
Di media sosial, para aktivis lingkungan hidup pun menggalang dukungan untuk memprotes pernyataan akademikus UGM terkait dengan pabrik semen di Rembang tersebut. Sebagian alumnus UGM di media sosial juga prihatin atas sikap akademikus UGM tersebut. UGM yang dulu dikenal sebagai perguruan tinggi yang selalu berada di garda depan dalam membela rakyat, kini justru terkesan membela perusahaan semen.
Untuk kesekian kali para akademikus bersaksi, menguntungkan perusahaan yang oleh masyarakat diduga merusak lingkungan hidup. Kesaksian mereka menguntungkan perusahaan, namun di sisi lain justru menghantam kepentingan warga yang menjadi korban kerusakan lingkungan hidup tersebut.
Bukan kali ini saja kesaksian akademikus terkesan membela perusahaan yang sedang diprotes warga sekitar karena kasus lingkungan hidup. Masih ingat kasus pencemaran Teluk Buyat? Pada 2004, kasus pencemaran di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, muncul. Kasus itu menyeret perusahaan tambang multi-nasional yang beroperasi di kawasan tersebut.
Dalam kasus itu netralitas akademikus dipertanyakan. Penelitian dari universitas ternama di Manado justru terkesan membela perusahaan. Bukan hanya kasus Buyat, peran akademikus yang melegitimasi keberadaan perusahaan yang sedang mendapat protes dari warga juga terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Bahkan, dalam kasus ini, yang terlibat tidak hanya akademikus tingkat lokal dan nasional, tapi juga internasional. Sebagian akademikus menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam, bukan akibat pengeboran.
Peran akademikus, yang di satu sisi cenderung mendukung perusahaan dan di sisi lain memunggungi masyarakat yang telah dan akan menjadi korban kerusakan lingkungan, tidak bisa dilepaskan dari politik pengetahuan.
Menurut filsuf Prancis Michel Foucault, pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus-menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Para akademikus memiliki kuasa untuk menafsirkan apakah kerusakan ekologi di satu kawasan terjadi karena ulah manusia atau bencana alam. Kekuasaan akademikus itu juga bisa mengarahkan kebijakan pemerintah dalam kasus lingkungan hidup, seperti dalam kasus Buyat dan Lapindo.
Karena pengetahuan berkaitan erat dengan kekuasaan, pertanyaan berikutnya, untuk siapa pengetahuan dan kekuasaan itu diabdikan? Apakah pengetahuan dan kekuasaan akan diabdikan untuk perusahaan atau mereka yang telah dan akan menjadi korban kerusakan lingkungan hidup? Peran sebagian akademikus dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, Lapindo, dan terakhir Pabrik Semen di Rembang, bisa menjawab ke mana arah pengetahuan itu cenderung akan diabdikan. *