Musyafak, penulis
Penawaran jasa nikah siri secara daring (online), yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat, menandakan bahwa pernikahan telah dikomodifikasi. Penyedia jasa nikah siri mengubah esensi pernikahan yang mulanya sakral dan bertujuan mulia menjadi semacam “jual-beli” status suami-istri.
Komodifikasi tersebut menjadikan nikah siri sebagai komoditas yang memberi keuntungan finansial bagi penyedia jasa. Pelaku nikah siri juga mendapat keuntungan dari hubungan suami-istri yang diperoleh dari nikah siri. Di titik ini, nikah siri online tampak sebagai bisnis e-marketing, yang kini menjadi tren.
Nikah siri di Indonesia juga dikenal sebagai “nikah di bawah tangan”, alias nikah secara diam-diam atau rahasia. Pada dasarnya, nikah siri melakukan pernikahan sesuai dengan rukun dan syarat sebagaimana diatur dalam syariat Islam, namun secara administratif pernikahan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau petugas pencatat nikah. Walhasil, para pelakunya tidak memiliki buku nikah, sehingga pernikahan mereka tidak berkekuatan hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Status pernikahan siri menurut agama adalah sah, sama halnya dengan pernikahan pada umumnya, sepanjang rukun dan syaratnya terpenuhi. Implikasi nikah siri secara biologis juga menghalalkan hubungan seksual dan kontak fisik lainnya.
Namun nikah siri sering dimanfaatkan sebagai “jalan pintas” bagi pasangan yang tidak bisa memenuhi rukun nikah, misalnya tidak memiliki wali nikah. Banyak pasangan yang “kawin lari” karena tidak direstui orang tua pada akhirnya melakoni nikah siri.
Dimensi nikah siri di masyarakat sangatlah kompleks. Persoalan birokrasi, ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan nikah siri.
Selama ini nikah siri juga dimanfaatkan orang-orang yang belum memiliki dana untuk mengurus administrasi pernikahan. Selain itu, tidak sedikit orang yang menempuh jalan nikah siri hanya karena belum mampu melangsungkan acara syukuran atau resepsi yang sudah mentradisi. Teknisnya, mereka mendahulukan nikah siri, baru kemudian melangsungkan “pernikahan administratif” di KUA dan melakukan syukuran atau pesta pernikahan.
Perkaranya menjadi lain jika nikah siri dijadikan kedok bisnis prostitusi. Banyak pihak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) menengarai promosi nikah siri secara online adalah upaya prostitusi terselubung (tempo.co, 19 Maret 2015). Anasir seperti ini tidak bisa dielakkan. Sebab, sepanjang sejarah pelacuran di negeri ini, memang ada yang menggunakan kedok pernikahan. Contoh, nikah mut’ah (kawin kontrak), yang marak di kawasan wisata Puncak, Bogor.
Komodifikasi syariat memiliki efek yang berbahaya, bukan hanya dari sisi bentuk, tapi juga substansinya. “Jual-beli” hubungan suami-istri, baik melalui praktek nikah siri maupun kawin kontrak, mudah saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya ingin mengejar kenikmatan biologis. Padahal pernikahan bukan hanya soal hubungan suami-istri, tapi juga menyangkut hubungan sosial di masyarakat, masa depan keturunan dan generasi, serta warisan.
Kita memang tidak bisa melarang nikah siri, mengingat negara sendiri tidak memiliki ketentuan pidana terhadapnya. Karena itu, secara doktrinal dan kultural, kita berkewajiban menuntun masyarakat agar menghindari nikah siri. *