Hukum bisa diberlakukan sangat tegas untuk menyeret orang-orang kecil. Seorang nenek berusia 63 tahun sambil bercucuran air mata sampai perlu bersimpuh di lantai Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, untuk memohon ampun kepada majelis hakim. Ia menolak dakwaan mencuri kayu di lahan milik Perhutani. Asyani, janda tua malang itu, berkeras bahwa kayu jati tersebut adalah tebangan enam tahun silam dari rumah lamanya di luar area Perhutani.
Asyani merupakan bagian dari kelompok masyarakat paling lemah, yang sering kali menjadi korban "penegakan hukum". Ia tak punya daya di hadapan Perhutani, Kepolisian, dan Kejaksaan, yang menuduhnya telah mencuri. Tragis, sang nenek segera ditahan meski banyak saksi menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bersalah. Nasibnya barangkali semakin tak menentu bila media massa tak memajang fotonya bersimpuh di hadapan majelis hakim. Rasa keadilan publik teriris-iris melihat peristiwa itu.
Sangat disesalkan, ini bukan pertama kali mereka yang dituduh mencuri karena "perut lapar" disidangkan. Nenek Minah dihukum percobaan karena dituduh mencuri tiga butir kakao di Purwokerto, Jawa Tengah. Kakek Rawi dihukum hampir 3 bulan penjara dengan dakwaan mencuri 50 gram merica di Sinjai, Sulawesi Selatan. Lalu dua nelayan diadili karena disangka mencuri empat ekor udang di Pandeglang, Banten. Asyani adalah mereka, mereka adalah Asyani.
Pencurian, bila terbukti, jelas merupakan kesalahan. Tapi semestinya tak semua pelakunya harus dikenai pasal-pasal pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur bahwa perbuatan yang dilakukan dengan "terpaksa" dibebaskan dari hukuman. Di sini, semestinya polisi memiliki diskresi untuk tidak menahan sang nenek, umpamanya dengan pertimbangan kemanusiaan dan kadar kesalahan yang ringan-itu pun belum terbukti.
Sangat mengherankan, polisi menjerat Asyani dengan tuduhan pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukuman maksimal pelanggaran pasal ini adalah 5 tahun penjara. Padahal ia hanya menyimpan beberapa lembar papan kayu jati. Bandingkan dengan kasus banyaknya penebangan liar secara masif dan lolos dari tangan penegak hukum.
Yang lebih tragis, menurut banyak saksi, kayu jati yang dipersoalkan itu berasal dari kebun Asyani, yang telah ia jual untuk biaya perawatan sang suami. Polisi seakan tak menggubris kesaksian ini, dan malah menerapkan hukum secara "serampangan" dengan menahan nenek empat cucu itu. Meskipun ancaman hukuman untuk "kejahatan" ini 5 tahun penjara, polisi seharusnya memiliki pertimbangan lain untuk tidak memakai kewenangannya secara maksimum. Kejaksaan pun setali tiga uang, tak mengupayakan pertimbangan lain kecuali meneruskan kasus Asyani ke pengadilan.
Majelis hakim harus memutus perkara ini seadil-adilnya. Kalaupun terbukti bersalah, hukuman percobaan sangat pantas baginya. Menghukum orang-orang kecil yang lapar, dengan kejahatan "remeh-temeh", semakin menegaskan: hukum kita tajam hanya untuk si kecil tanpa daya.