Somasi yang berlanjut ke pelaporan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya bisa disebut "teror" di jalur hukum. Apalagi, sebelum somasi melayang, Komnas HAM menerima ancaman melalui telepon. Penelepon yang mengaku sebagai penyidik Badan Reserse Kriminal Polri meminta Komnas HAM mencabut pernyataan soal pelanggaran hak asasi dalam penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto.
Siapa penelepon itu, belum terungkap. Tapi langkah 12 penyidik Bareskrim melaporkan Komnas HAM seperti memperjelas bayangan teror yang sebelumnya samar-samar. Kini, sulit dibantah bahwa Komnas HAM menerima "teror" lantaran mempersoalkan penangkapan Bambang Widjojanto serta kriminalisasi terhadap pimpinan KPK lainnya.
Klaim tim pengacara penyidik bahwa Komnas HAM hanya boleh melaporkan temuannya kepada pimpinan Bareskrim jelas mengada-ada. Kalau saja penjelasan Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti bisa dipercaya, operasi penangkapan Bambang Widjojanto bahkan tak dilaporkan lebih dulu oleh Bareskrim ke pimpinan Polri. Jadi, tak logis bila Komnas HAM harus melaporkan temuan mereka ke pimpinan Bareskrim.
Tuduhan penyidik Bareskrim bahwa Komnas HAM melanggar undang-undang karena membuka temuan ke media juga susah diterima akal sehat. Langkah Komnas HAM itu justru pertanggungjawaban kepada publik.
Upaya Komnas HAM mengungkap kriminalisasi terhadap pimpinan KPK jauh dari kriteria memfitnah atau menista seperti tuduhan pelapor yang memakai Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di luar gedung Komnas HAM pun teramat banyak orang yang mengecam cara kerja polisi. Betapa tidak, Bambang ditangkap kawanan polisi bersenjata laras panjang, lalu diborgol laksana teroris, disaksikan anaknya.
Permintaan penyidik Bareskrim agar komisioner Komnas HAM dijerat dengan Pasal 47 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pun perlu diwaspadai. Ancaman hukuman maksimum pasal ini 10 tahun penjara. Dengan dalih ancaman hukuman di atas 5 tahun, penyidik Polda Metro sewaktu-waktu bisa saja menahan komisioner Komnas HAM. Jadi, dengan pasal itu, sekali tepuk polisi bisa membuat Komnas HAM lumpuh layuh.
Klarifikasi Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti bahwa laporan itu bukan atas nama lembaga kepolisian jelas tidak memadai. Sebagai pemimpin tertinggi Polri saat ini, Badrodin punya otoritas untuk memerintahkan penyidik Bareskrim mencabut laporan mereka. Bila Badrodin tak mengeluarkan perintah itu, kedatangan dan klarifikasi dia di kantor Komnas HAM pekan lalu hanya dianggap basa-basi.
Lain cerita bila perintah Badrodin pun kini tak digubris lagi oleh penyidik dan pimpinan Bareskrim. Bila itu benar-benar terjadi, Presiden Joko Widodo-lah yang harus turun tangan. Presiden tak boleh membiarkan Komnas HAM lumpuh. Ingat, Pasal 28 I (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan pemegang tanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah negara, terutama pemerintah (baca: kepala pemerintah).