Keputusan Komisi Pemilihan Umum untuk menunda pelantikan calon kepala daerah terpilih yang menjadi tersangka korupsi sepatutnya didukung. Pemerintah sebaiknya tidak mempersoalkan jika komisi itu kelak memberlakukan keputusan tersebut.
Rencana penangguhan pelantikan tersangka itu disampaikan Rabu pekan lalu dalam uji publik Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Aturan itu akan diberlakukan pada pemilihan kepala daerah yang bakal digelar serentak mulai akhir tahun ini. Di situ disebutkan bahwa penundaan pelantikan dilakukan hingga keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penundaan pelantikan kepala daerah berstatus tersangka korupsi itu sesuai dengan semangat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa, dan karena itu, untuk menghadapinya, diperlukan perlakuan yang juga luar biasa.
Selama ini, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah belum mengatur hal itu. Kementerian Dalam Negeri pun melantik sejumlah calon kepala daerah terpilih dalam status tersangka walau kemudian langsung menonaktifkannya. Hambit Bintih, misalnya, dilantik menjadi Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, meski sedang berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Status tersangka calon kepala daerah terpilih bisa dipastikan akan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Meski belum dinyatakan bersalah, mereka harus menjalani pemeriksaan, menghadiri persidangan, dan kemudian menghadapi vonis hakim. Apalagi bila sang calon kepala daerah terpilih kemudian juga dimasukkan ke tahanan.
Pentingnya penundaan pelantikan calon kepala daerah berstatus tersangka juga bisa didasarkan pada hasil riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menurut penelitian yang dilakukan pada 2005-2012, calon kepala daerah yang pernah dilaporkan ke lembaga itu ternyata memiliki perilaku koruptif setelah dilantik. Mereka disebutkan cenderung membangun mafia birokrasi selama memimpin.
Aturan yang dirancang Komisi Pemilihan Umum itu memang tidak akan gampang diterima. Sebab, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang baru diperbarui Dewan Perwakilan Rakyat hanya menyatakan kepala daerah diberhentikan setelah status hukumnya berkekuatan hukum tetap.
Meski begitu, perlakuan yang sama sebenarnya sudah dijalankan pada pemilihan anggota badan legislatif 2014. Ketika itu, Komisi Pemilihan Umum mengusulkan pelantikan lima calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditunda karena berstatus tersangka korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui usulan itu. Kementerian Dalam Negeri semestinya mengikuti contoh baik itu bila kelak Komisi Pemilihan Umum mengusulkan hal yang sama untuk calon kepala daerah terpilih.
Dewan dan pemerintah perlu memasukkan aturan itu ke dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Pertumbuhan" jumlah bupati, wali kota, atau gubernur tersangka korupsi harus dihentikan. Jika itu tidak dilakukan, "penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi" sebagai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998 menjadi sebatas slogan. *