TEMPO.CO, Jakarta - Hilmy Konstantinus Deo Amal, Alumnus FISIP Universitas Katolik Parahyangan, pernah bekerja di BUMN
Pemerintah belum lama ini melakukan serangkaian perombakan komisaris di beberapa badan usaha milik negara (BUMN). Penunjukan para komisaris baru tersebut segera menuai kritik dari masyarakat luas. Pasalnya, nama-nama yang ditunjuk pemerintah menjadi komisaris BUMN sebagian besar merupakan relawan, politikus, dan akademikus yang turut mendukung Presiden Jokowi pada masa kampanye pemilu lalu. Sebut saja Cahaya Dwi Rembulan Sinaga (Komisaris Bank Mandiri), Refly Harun (Komisaris Jasa Marga), dan Diaz Hendroprijono (Komisaris Telkomsel).
Meski proses penggantian komisaris di tubuh BUMN merupakan siklus normal dalam sebuah organisasi, terpilihnya orang-orang dekat Presiden menjadi komisaris tak mampu menepis isu adanya nepotisme dalam proses pemilihan tersebut. Langkah pemerintah menunjuk para relawan Jokowi menjadi komisaris BUMN merupakan preseden buruk di tengah upaya pemerintah memacu kinerja BUMN. Rasanya, sulit menyaksikan BUMN yang terbebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bila pemerintah sebagai pemilik mayoritas BUMN memilih pendekatan nepotisme dalam memilih para komisaris perusahaan pelat merah.
Kecurigaan bahwa telah terjadi praktek politik "balas budi" antara Presiden Jokowi dan relawannya semakin tak terbantahkan. Bila demikian, komitmen pemerintah menjadikan BUMN sebagai pilar penting dalam pembangunan wajib digugat. Bagaimana mungkin para eksekutif dan pegawai BUMN dapat dituntut bekerja secara profesional dan produktif bila orang-orang yang mengawasi kerja mereka adalah produk praktek perkoncoan elite politik di negeri ini?
Kuatnya aroma nepotisme dalam proses pemilihan komisaris BUMN menimbulkan sejumlah kekhawatiran dalam benak penulis. Pertama, stigma buruk BUMN menjadi "sapi perah" dan "ATM" para penguasa semakin sulit ditepis. Kedua, penyertaan modal negara sebesar
Rp 37 triliun yang digelontorkan pemerintah tahun ini terancam tidak berdampak optimal bagi pembangunan. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana, bahwa sesungguhnya pemerintahan Jokowi tidak memiliki kemauan politik untuk memperbaiki watak dan kultur kerja BUMN.
Menanggapi tudingan tersebut, reaksi pemerintah beragam. Presiden Jokowi menyatakan para komisaris yang ditunjuk telah melalui seleksi yang ketat. Sementara itu, Menteri BUMN mengatakan seluruh prosedur penunjukan telah dilalui dengan baik. Dan, yang paling menyesakkan dada adalah pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, yang menilai praktek-praktek di atas merupakan hal biasa yang telah lama dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Bukankah tugas pemerintah Jokowi adalah memperbaiki praktek-praktek buruk di BUMN pada masa lalu?
Tanggapan Menko tentunya cukup mengecewakan, praktek-praktek nepotisme yang selama ini marak dalam tubuh BUMN dapat dimaklumi dan dilanggengkan. Sebuah sikap yang tentunya membuat jargon "revolusi mental" semakin tak relevan. Revolusi mental idealnya diresapi dan diimplementasikan pemerintahan Jokowi-JK dalam setiap kebijakannya, termasuk ketika memilih para komisaris BUMN.