TEMPO.CO, Jakarta - Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St. Vincent de Paul
"Manusia sama saja
dengan cerutu
bistik ataupun wiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya."
(Sajak Sebuah Restoran,
W.S. Rendra)
Baca juga:
Sajak itu tepat untuk menggambarkan misteri kehidupan, perjuangan meniti sukses, dan kematian Yoga Syahputra. Setelah berjuang meniti karier di dunia hiburan Tanah Air dari level bawah, sosok yang dikenal luas sebagai Olga Syahputra itu akhirnya mampu mereguk ketenaran di puncak kesuksesan.
Sayang, tak begitu lama di puncak karier, tiba-tiba hidup komedian yang relatif masih muda dan doyan bergaya kemayu itu seolah direnggut pelan-pelan oleh maut. Olga meninggal di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, Jumat sore pekan lalu, setelah hampir setahun dirawat. Kabarnya, sosok yang berasal dari kalangan bawah itu menderita meningitis. Berhadapan dengan waktu atau maut, memang tidak ada yang bisa mengelak.
Meminjam istilah Soren Kierkegaard, filsuf Denmark (1813-1855), hidup merupakan "drama eksistensi", dimulai saat manusia lahir dari rahim ibunya hingga mati dan diterima oleh ibu pertiwi. Menurut Kierkegaard, drama eksistensi adalah pergulatan mencemaskan bagi setiap orang, saat harus jatuh-bangun dan harus memilih beragam pilihan baik-buruk. Maka, "memilih" adalah cara "mengada" manusia. Dari pilihannya, akan ketahuan apakah seseorang termasuk kategori manusia sejati atau manusia palsu. Dan Olga tahu pilihan terbaik.
Dan banyak orang memberi kesaksian, bahwa Olga adalah komedian sekaligus manusia yang baik. Sebagian honornya disalurkan untuk anak yatim-piatu dan mereka yang kurang mampu. Beberapa aktor atau artis di dunia hiburan kita juga mengaku banyak ditolong oleh almarhum.
Namun boleh jadi jasa terbesar Olga adalah menghibur dan membuat sebagian besar warga negara kita bisa tersenyum atau tertawa terpingkal-pingkal di tengah berbagai kesumpekan hidup. Olga membuat kaum jelata bisa sejenak melupakan mahalnya harga kebutuhan pokok atau ingar-bingar perpolitikan kita.
Meski Olga bukan politikus, kita perlu memberi apresiasi tinggi kepada almarhum, karena ia jelas bukan pelaku kejahatan kerah putih, seperti koruptor yang tanpa rasa malu suka mencuri uang negara. Para koruptor itu, meminjam istilah Mogi Darusman dalam lagunya Rayap-Rayap (1978), tega memakan-meminum darah rakyat. Akibat ulah mereka, kaum bawah seperti Olga menjadi sulit untuk bisa menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, untuk mendapatkan akses air bersih atau sanitasi di perkotaan, kaum miskin kian sukar.
Sedangkan Olga justru mampu memberi hiburan kepada kaum jelata yang sudah sumpek dengan berbagai persoalan yang dimunculkan oleh para pejabat negara, entah wakil rakyat yang suka mempermainkan APBN/APBD atau aparat hukum yang suka memainkan ayat hukum, sehingga Asyiani seorang nenek tua pencuri kayu jati saja diadili, demikian pula Yusman Telaumbanua, seorang anak berusia 16 tahun yang divonis hukuman mati. Olga juga pasti lebih dicintai publik daripada para polisi pemilik rekening gendut, yang berkoar mengabdi dan melayani masyarakat, tapi realitasnya mengabdi dan melayani egonya.
Terbukti, saat kematiannya, Olga begitu dicintai oleh para penggemarnya. Kematiannya pun menjadi trending topic di media sosial. Bahkan, ketika dimakamkan di Jakarta, Sabtu pekan lalu, ribuan orang mengantarkannya.