TEMPO.CO, Jakarta - Antyo Rentjoko, Bekas narablog (@PamanTyo)
Setelah memuji lingerie pesanan, Yulia Agustina dari Malang, Jawa Timur, menyatakan, "....suamiku juga sangat suka, tidak henti2nya aku dipuji dan dikagumi. Jadi tambah semangat tampil cantik dan sexy di depan suami... Kalau ada kostum pramugari atau pilot, kabari aq ya..."
Baca Juga:
Itu hal biasa dalam laman testimoni toko lingerie daring (online). Contoh tadi dari BajuSeksi.net. Semua orang bisa membacanya.
Di lapak yang sama, ada juga testimoni dari sejumlah pria. Misalnya dari Iwan Gunawan (Bandung, Jawa Barat): "Barang sudah diterima, malah lebih cepat dari dugaan, langsung seeerrrrr."
Di Facebook, laman penjaja lingerie juga mendapatkan komentar, misalnya laman milik Kawai-Lingerie.com, toko yang sering menaja lingerie peragawati dalam majalah pria Popular dan Male. Penanggap produk bisa pria, namun kebanyakan adalah perempuan yang menanyakan harga, ukuran, dan ongkos kirim.
Media sosial dan toko daring telah membiasakan orang terhadap aneka produk. Mengomentari lingerie, bahkan bertestimoni tentangnya, tak beda dengan berbelanja sepatu dan gir sepeda. Kini pria mengamati katalog lingerie di Internet tak perlu takut dianggap sebagai fetishist-tapi misalkan iya pun tak jadi soal-karena lingerie dagangan umumnya dikenakan oleh maneken hidup.
Apakah lingerie termasuk barang privat? Saat dikenakan, lingerie jelas privat, bahkan masuk ke wilayah intimasi. Hanya sesi foto dan peragaan busana yang menjadikan lingerie terkenakan itu memapar publik.
Jika menyangkut bisnis daring di Indonesia, lingerie punya dua sisi wajah: perubahan perilaku konsumen yang tak menganggapnya sebagai benda memalukan dan geliat pasar di luar statistik tebal.
Pasar lingerie daring adalah bagian dari keajaiban ekonomis produk Cina (dan mungkin Bangladesh plus Vietnam). Ekonomika lingerie itu aneh: jika sebuah crotchless G-string dijual Rp 30 ribu per helai (misalnya di Chaviori.com, dan sold out!), memangnya berapa biaya produksinya, minimal upah buruhnya?
Menurut guyon, lingerie, terutama G-string dan kutang bikini, itu hemat bahan, cepat pengerjaan, murah ongkos buruhnya. Hasilnya nyaman atau tidak toh hanya dipakai sebentar.
Statistik tebalnya, seperti dikatakan pada 2012 oleh Wakil Ketua Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia Suryadi Sasmita, lebih dari 90 persen anggota tak menjalankan pabrik, melainkan mengimpor (Bisnis Indonesia, 21/11/2012).
Ia mengakui, transaksi yang tercatat itu kecil. "Penjualan seperti di ITC dan Pasar Tanah Abang itu belum terekam." Artinya lingerie daring makin tak tercatat. Pada 2010, menurut Suryadi kepada Kontan, 3 persen dari Rp 30 triliun penjualan busana dipasok oleh pakaian dalam dan lingerie.
Sebetulnya lapak lingerie daring merekam selera khalayak Indonesia. Bahkan kostum perawat, polisi, dan wanita militer pun diminati (infografik Beritagar.com, 10/1/2014).
Cara lapak-lapak daring merayu konsumen selain dengan harga adalah artikel. Maka, di Lingeriecantik.com, ada panduan belanja untuk pria yang akan menghadiahi istrinya.
Konten media sosial, misalnya forum wanita, pun tak canggung memamerkan lingerie belanjaan dalam foto, sehingga terlihat oleh khalayak dan menuai pujian. Tak dipakai sih, melainkan empat helai G-string difoto bersama... mi instan dalam kemasan!