Putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat yang membatalkan perjanjian kerja sama Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta Raya (PAM Jaya) dengan dua perusahaan swasta sudah tepat. Majelis hakim, pekan lalu, mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta.
Majelis hakim menilai kerja sama ini telah merugikan pelanggan, PAM Jaya, dan negara. Kerja sama pengelolaan air PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise dan PT Aetra Air Jakarta ini masih akan berlangsung hingga 2023. Desakan untuk membatalkan atau tidak memperpanjang kontrak ini datang dari berbagai pihak.
Manajemen PAM Jaya sendiri pernah mengungkapkan bahwa kerugian akumulatif perusahaannya mencapai Rp 18,2 triliun jika kontrak kedua perusahaan itu diperpanjang. Kerugian ini disebabkan oleh adanya pengalihan aset PAM Jaya, pengadaan aset, dan penjualan aset yang tidak dibukukan.
Selain merugikan, perjanjian kerja sama itu tidak menghasilkan perbaikan pelayanan. Jumlah produksi air memang meningkat, tapi target cakupan pelayanan tak tercapai. Data PAM Jaya pada 2013 menunjukkan realisasi cakupan hanya 59,01 persen atau masih di bawah target sebesar 66,73 persen. Target tingkat kehilangan air juga tak tercapai.
Harga air di DKI Jakarta juga terus naik, meskipun pelayanan tak kunjung membaik. Pada tahun pertama swastanisasi, tarif rata-rata air sebesar Rp 1.700 per meter kubik. Saat ini, harga air sudah mencapai Rp 7.850 per meter kubik. Harga itu lebih dari dua setengah kali tarif rata-rata air di kota-kota lainnya, seperti di Surabaya, Medan, dan Makassar.
Harga yang dirasakan masyarakat tidak sesuai dengan pelayanan ini merupakan jenis aduan kedua terbesar yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dari pelanggan. Keluhan pertama adalah mengenai air yang keruh, berlumut, dan berwarna. Padahal semestinya air yang didistribusikan harus memenuhi syarat-syarat kesehatan serta pelayanan yang baik bagi masyarakat.
Putusan hakim tersebut juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pada 18 Februari lalu. Dengan adanya keputusan tersebut, swastanisasi pengelolaan air kehilangan dasar hukumnya. Putusan MK 2015 ini juga menunjukkan bahwa dalam pengelolaan air, pemerintah lebih memilih jalan swastanisasi. Padahal MK, dalam putusan pada 2004, telah meminta pemerintah lebih mengutamakan hak masyarakat atas air ini.
Selain itu, pembatalan kerja sama tersebut merupakan tren di dunia yang terjadi dalam 15 tahun terakhir. Setidaknya ada 180 kasus di 35 negara di mana masyarakat menolak dan menggugat swastanisasi air. Beberapa kota yang sukses mengembalikan hak air kepada masyarakat antara lain Berlin (Jerman), Buenos Aires (Argentina), dan Kuala Lumpur (Malaysia).
Yang harus segera dilakukan Gubernur DKI Jakarta adalah menyiapkan kemungkinan adanya banding atau gugatan balik dari dua perusahaan tersebut serta kemungkinan diajukannya kasus ini ke badan arbitrase. Namun yang lebih penting adalah menyiapkan PAM Jaya untuk mengantisipasi kekosongan pengelolaan air jika putusan ini sudah berkekuatan tetap.