Rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melarang aksi politik pada hari bebas kendaraan bermotor (car-free day) jelas mengada-ada. Berpolitik dan mengeluarkan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi undang-undang. Apalagi kegiatan itu dilakukan di ruang publik.
Basuki menyetujui usulan pelarangan itu dalam rapat pimpinan gabungan di Balai Kota, Senin pekan lalu. Alasan Basuki, keputusan tersebut untuk mengembalikan fungsi kawasan bebas kendaraan bermotor itu sebagai arena berolahraga bagi warga Ibu Kota. Basuki gerah setelah beberapa kali acara bebas kendaraan bermotor itu diwarnai beberapa unjuk rasa dengan aneka tema, dari isu politik sampai isu-isu sepele seperti gaya hidup sehat.
Basuki semestinya tak perlu risau dengan unjuk rasa di car-free day. Hak berunjuk rasa itu dijamin undang-undang. Kota-kota besar dunia yang telah maju, seperti London atau New York, pun menenggang orang berdemonstrasi dan malah menyediakan tempat publik untuk berunjuk rasa. Di Trafalgar Square, London, misalnya, orang boleh berdemonstrasi soal apa saja, dari isu politik, ekonomi, sampai isu gender.
Publik akan melihat sangat aneh bila Basuki benar-benar "memasung" car-free day dari unjuk rasa politik. Sepanjang demonstrasi itu berjalan tertib, memenuhi izin, dan menghormati kebebasan berpendapat orang lain, seharusnya unjuk rasa tersebut-biarpun dalam car-free day-tetap dibolehkan.
Basuki semestinya mafhum, mengekang demonstrasi bisa dianggap bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, Peraturan Gubernur Nomor 119 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor tak perlu ditambahi aturan yang mengekang kebebasan berpendapat.
Car-free day, yang digelar di banyak kota besar dunia, sejatinya punya dua tujuan mulia. Pertama, mengurangi polusi dari asap kendaraan bermotor. Kedua, membuat warga bisa menikmati kota dengan aneka rupa kegiatan: dari jalan santai, lari, bersepeda, sampai aktivitas-aktivitas yang memungkinkan warga berinteraksi.
Car-free day di Jakarta sudah berlangsung sukses sehingga menyedot banyak pengunjung-tak terkecuali pengunjung yang ingin suaranya didengar. Kawasan bebas mobil dan sepeda motor itu juga diramaikan oleh aktivitas komersial. Ada yang membuka gerai mini bengkel atau servis sepeda, ada pula stan yang menawarkan sepeda motor. Bahkan pabrik obat pun memanfaatkan momentum car-free day. Semestinya gerai-gerai komersial itulah yang dibidik Ahok untuk ditertibkan.
Mantan Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa, pernah berkata, "Kota yang baik adalah kota yang bisa membuat warganya keluar rumah dengan sukarela dan ceria." Pernyataan wali kota yang menyulap Bogota, dari kumuh dan macet menjadi kota yang menyenangkan, itu menarik untuk dicamkan. Semakin banyak warga berinteraksi di ruang-ruang kota, baik yang kaya maupun yang miskin, yang aliran kiri maupun kanan, itu mencirikan kota yang sehat.
Sudah saatnya pemerintah DKI Jakarta menata kembali program car-free day. Biarkan masyarakat beraktivitas, bersuara. Yang penting, semua harus diatur agar car-free day tetap bisa dinikmati warga.