Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan teroris hendaknya dibatasi sesuai dengan yang telah diamanatkan undang-undang. Pemberantasan terorisme, seperti halnya isu keamanan lainnya, harus tetap berada di bawah koordinasi polisi. Keterlibatan tentara hendaknya hanya sebatas memberi bantuan yang diperlukan oleh kepolisian.
Kekhawatiran soal masuknya kembali TNI untuk menangani masalah keamanan muncul saat TNI berniat menggelar latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Poso, Sulawesi Tengah. Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan latihan dalam skala besar itu untuk mengantisipasi munculnya kelompok radikal. Menurut Moeldoko, latihan tersebut digelar dalam kaitan dengan isu terorisme, terutama setelah beberapa warga negara Indonesia bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Bahkan Moeldoko mengatakan latihan di Poso sekaligus untuk mencari kelompok-kelompok teroris.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memang memberikan tugas kepada TNI untuk melakukan operasi militer selain perang dalam mengatasi aksi terorisme. Namun yang seharusnya dilakukan TNI lebih berupa upaya preventif, memberikan bantuan kepada kepolisian dengan koridor fungsi dan tugasnya secara efektif.
Merujuk ke Pasal 7 ayat 1 undang-undang tersebut, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia, serta melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sebagai penegas, dalam ayat 2 pasal tersebut dinyatakan tugas pokok sebagaimana dimaksudkan adalah menggelar operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Operasi militer selain perang hendaknya tidak dilebarkan ke isu-isu keamanan yang bisa ditangani kepolisian.
Kalaupun Kepolisian RI kewalahan dalam menangani teroris, dan Presiden merasa TNI perlu turun tangan, hal itu harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas tertuang dalam Pasal 14 ayat 1-5 yang mengatur tentang kewenangan dan tanggung jawab presiden untuk pengerahan kekuatan TNI atas persetujuan DPR. Dan ketika DPR menyetujuinya, operasi itu berada di bawah komando kepolisian.
Menurut Konvensi PBB Tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Dengan demikian, aksi terorisme tidak dapat digolongkan sebagai aksi militer yang menuntut reaksi militeristik. Keterlibatan TNI secara penuh dengan operasi militer hanya dapat dibenarkan saat aksi mereka sudah membentuk milisi atau pasukan tentara dan melakukan operasi yang membahayakan keutuhan negara.
Rambu-rambu ini penting dijaga agar Indonesia, sebagai negara sipil yang demokratis, tidak berubah. Godaan untuk melibatkan tentara dalam tugas-tugas polisi bisa membuat kita kembali ke masa ketika keterlibatan tentara jadi begitu tak terbatas.