Sangat beralasan jika kecurigaan terhadap Sarpin Rizaldi kian kuat setelah ia menolak memenuhi undangan forum pemeriksaan etika oleh Komisi Yudisial. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini menunjukkan kekacauan putusannya sekaligus membangkang terhadap sistem pengawasan hakim yang dijamin konstitusi.
Melalui pengacaranya, Sarpin mula-mula beralasan tak mau datang ke gedung Komisi Yudisial; dia justru meminta Komisi-lah yang datang ke kantornya. Pada pemanggilan kedua, di tempat yang oleh Komisi dianggap netral, yakni Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Sarpin lagi-lagi absen dan juga tak meminta penasihat hukum mewakilinya.
Pemanggilan oleh tim panel Komisi itu sebenarnya merupakan kesempatan bagi Sarpin untuk mengklarifikasi tuduhan-tuduhan terhadapnya. Koalisi Masyarakat Sipil mengadukan Sarpin setelah ia membuat putusan kontroversial dalam sidang gugatan praperadilan atas penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Februari lalu. Menurut Koalisi, Sarpin melanggar Pasal 8 dan Pasal 10 Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim.
Sejauh ini tim panel Komisi Yudisial telah selesai meminta keterangan dari setidaknya 10 orang saksi. Tim Komisi tinggal memberi kesempatan kepada Sarpin untuk menyampaikan keterangan. Bagi Sarpin, kesempatan bermuka-muka dengan tim panel Komisi ini sebenarnya bisa menjadi ajang pembelaan diri. Sang hakim bisa memanfaatkannya untuk menyampaikan argumentasi bahwa, sebagaimana klaimnya, dia tak bersalah.
Tak ada cara lain untuk membeberkan kebenaran klaim tak bersalah kecuali dengan menjalani proses yang disediakan hukum. Dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik yang disangkakan kepada Sarpin, proses itu dijalankan melalui Komisi Yudisial.
Tak perlu kursus hukum dan ketatanegaraan bagi Sarpin untuk memahami bahwa dia tak bisa mengabaikan wewenang Komisi. Sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 (yang merupakan perubahan atas UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial), salah satu tugas Komisi adalah menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Merespons aduan Koalisi Masyarakat Sipil merupakan pelaksanaan atas wewenang ini.
Jika Sarpin juga merasa jauh lebih paham soal hukum ketimbang orang kebanyakan, dia selayaknya tahu persis kesempatan resmi untuk membela diri ada batasnya. Komisi sudah memastikan hanya akan menjadwalkan satu kali lagi pemanggilan Sarpin. Baik Sarpin hadir maupun menghindar, Komisi tetap bisa mengambil putusan--berdasarkan keterangan sepihak para saksi.
Kecuali hendak bertahan dengan dalihnya yang tak tertib, atau sadar tidak punya argumentasi yang kuat untuk menepis tuduhan-tuduhan Koalisi, Sarpin semestinya memenuhi panggilan Komisi.