Gempa dahsyat terjadi di pantai Bali Utara dengan kekuatan 5,8 pada skala Richter. Kota Kecamatan Seririt hancur lebur. Ribuan rumah penduduk rata dengan tanah, tidak hanya di Kabupaten Buleleng, tapi sampai di kabupaten tetangganya. Tak ada bantuan apa pun dari pemerintah untuk membangun kembali permukiman. Beberapa bulan kemudian, baru turun "kredit gempa" dari Bank Pembangunan Daerah Bali. Besarnya Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu. Tapi, karena uang itu harus dikembalikan paling telat setahun, banyak penduduk yang hanya mengambil jumlah paling kecil. Toh, kredit itu tetap menjadi utang dan terus dikejar-kejar oleh bank.
Gempa itu terjadi pada 1976. Mungkin pemerintah tak punya uang untuk membantu korban gempa. Mungkin juga rakyat belum sadar bahwa nasib buruk ini harus diperhatikan pemerintah. Wakil Presiden (saat itu) Sri Sultan Hamengku Buwono IX hanya memasang wajah duka ketika mengunjungi korban gempa.
Kini, 30 tahun berlalu, situasi berubah. Rakyat mulai sadar, pemerintah mulai berbaik hati, pemimpin suka obral janji, bahkan banyak politikus yang bersedia membuatkan proposal untuk mencairkan dana. Jika terjadi musibah, seolah-olah itu "perbuatan jahat" pemerintah, sehingga pemerintah harus mengganti kerugian yang diderita penduduk. Rumah korban gempa harus dibangun, setidaknya ada permukiman pengganti. Wakil Presiden (saat ini) Jusuf Kalla langsung menjanjikan dana perbaikan setiap rumah Rp 30 juta (yang sempat membuat iri penduduk miskin di seantero negeri), walau kemudian janji itu dikatakan salah kutip karena yang dimaksud dengan angka itu adalah jumlah maksimum. Minimumnya tidak disebutkan sehingga rakyat berdemo. Tiga puluh tahun yang lalu, jangankan rakyat Bali korban gempa berdemo, muncul di jalanan saja takut, jangan-jangan kepergok petugas bank yang akan menagih cicilan "kredit gempa".
"Kalau sekarang ada gempa, asal tidak keras saja, sepertinya enak. Kesempatan membuat proposal," kata seorang anggota staf kepala desa. Lama saya perhatikan wajahnya, saya harus menebak-nebak: ini ucapan guyon atau serius? Ternyata dia meneruskan, "Tahun lalu, ada anggota Dewan yang membuatkan proposal untuk perbaikan jalan ke kuburan, sekarang dananya sudah turun, dipotong jasa proposal dua puluh persen." Sekali lagi saya perhatikan wajahnya, ternyata dia serius.
Belakangan, entah kebetulan entah lagi mode, bisnis proposal seperti ini banyak saya dengar. Ide dan pembuatnya anggota Dewan, dari segala tingkat Dewan, tapi proposal itu seolah-olah datang dari masyarakat. Proposal itu diperjuangkan di sidang-sidang anggaran, termasuk melobi pejabat yang bisa menyetujuinya. Kalau proyek berhasil, anggota Dewan mendapat bagian sebagai "upah bersidang" atau "upah melobi".
Kepala desa senang jika di desanya ada proyek. Camat girang kalau di wilayahnya juga ada proyek. Bupati pun gembira kalau proposal yang diajukan ke pusat juga "tembus"--istilah ini diambil dari judi togel--sehingga ada proyek. Siapa yang paling senang? Konon anggota Dewan yang "memperjuangkan" proposal itu.
Negeri ini makin lama makin membingungkan. Rakyat jadi manja, ketahanan sosialnya luntur, sementara pemimpinnya sudah semakin serakah. Semestinya ada proposal lain yang mengimbanginya, yakni proposal menuju surga, perbaikan akhlak yang diutamakan. Sayang, bicara masalah surga, hukum karma, dan dunia akhirat yang damai tak laku sekarang ini. Anak Jakarta bilang: sok alim lu....