TEMPO.CO, Jakarta - Ali Nur Sahid, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
Pekan lalu, di Leteh, tepatnya di Pesantren Raudlatul Tholibin Rembang, Jawa Tengah, digelar istigasah (doa) untuk kedaulatan sumber daya alam. Dihadiri ratusan santri, warga, khususnya ibu-ibu yang bertahan sejak Juni 2014 dengan membuat tenda keprihatinan di tengah hutan jati Rembang, mereka menuntut penutupan eksploitasi pegunungan Kendeng oleh PT Semen Indonesia.
Kecemasan kaum sarungan, khususnya anak-anak muda NU ini, sangat beralasan. Pasalnya, di beberapa wilayah,nahdliyin menjadi korban dari berbagai kebijakan di sektor industri ekstraktif, seperti di Rembang, Pati, Porong, Sumenep, Ciremai, dan Kebumen. Ditambah lagi dengan tingginya angka kekerasan di sektor penguasaan sumber daya alam.
Kiai Yahya Cholil Tsaquf, biasa disapa Gus Yahya, menegaskan bahwa "konflik sumber daya alam yang terjadi adalah bentuk penyingkiran pada saudara-saudara kita. Diperlukan konsensus nasional yang memperhatikan sisi sosial, lingkungan, dan generasi masa depan." Berlaku adil terhadap generasi mendatang dengan tidak menguras sumber daya alam tak terbarukan (non-renewable resource) secara serampangan adalah kewajiban.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan ribuan izin usaha tambang (IUP) berebut markas mengepung wilayah Jawa. Faktor meningkatnya kebutuhan pasar dan ongkos produksi murah menjadi alasan utama pulau padat penduduk ini menjadi incaran. Di tengah amburadulnya tata kelola daerah dalam menetapkan izin usaha pertambangan, tahun ini seolah menjadi musim panen tambang. Sejumlah perusahaan mengincar pegunungan karst, siap menancapkan investasi triliunan rupiah, seperti Holcim, Indocement, Ultratech, Semen Indonesia, Juishin, Panasia, dan Semen Merah Putih. Ditambah lagi tambang-tambang lokal yang sudah beroperasi.
Situasi ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan jika menengok daya tampung Jawa dan kepadatan penduduknya. Kebutuhan air meningkat tajam setiap tahun. Bencana datang silih berganti, dari longsor, banjir, kekeringan, hingga krisis pangan. Di sisi lain, kepungan izin penambangan terjadi lewat konversi daerah tangkap air, hutan, dan kawasan pertanian. Berdasarkan laporan penelitian Jaringan Advokasi Tambang, hingga 2013, terdapat 76 izin tambang karst di Pulau Jawa di 23 kabupaten.
Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) mestinya menjadi prioritas. Kecenderungan problem penyusunan amdal berkelindan dengan proses tukar guling lahan, patgulipat perizinan, manipulasi kawasan, dan persetujuan warga. Kelemahan studi amdal biasanya juga luput memikirkan nilai ekonomi dari dampak lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya. Juga lupa mendorong industri berurusan dengan inovasi, pembangunan manusia, dan sistem sosial.
Inisiasi penyelamatan lingkungan oleh kaum NU yang notabene mempunyai jemaah terbesar di Jawa ini patut didukung. Sumber daya alam harus diselamatkan. Pun penggunaannya untuk kemaslahatan bersama, seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Rencananya, dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang yang akan datang, salah satu agendabahsul masail, pembahasan masalah keagamaan oleh komisiqonuniyah (perundangan), adalah perihal pengelolaan sumber daya alam.