Irfan Budiman, @papaipang
Kebon Sirih, Jakarta Pusat, di awal 1980-an. Di sebuah perkampungan yang padat di tengah kota ini, malam itu saya benar-benar tidak bisa tidur. Padahal malam sudah merayap larut. Obat nyamuk pun sudah dibakar, tapi tetap saja tak bisa terlelap.
Dari sebuah radio transistor, seorang tetangga tengah mendengarkan sebuah pertunjukan sandiwara Betawi. Tak banyak yang saya ingat, kecuali para pemainnya yang berbicara seperti orang berteriak, terdengar melengking, musik gambang, lalu terdengar tawa penonton.
Belasan tahun kemudian, suara orang yang bicara dengan kencang melengking tidak hanya terdengar, tapi juga terlihat. Ali Shahab, sang sutradara, mengangkut para bintang lenong itu ke layar kaca. Serial Pepesan Kosong-yang dibuka dan ditutup dengan laga yang sangat jenaka-menjadi satu yang menarik di antara tontonan setting Betawi yang booming kala itu.
Mpok Nori, yang nama aslinya Nuri Sarinuri, yang berperan sebagai nenek dalam sinetron yang diputar selepas magrib itu, memang sudah tidak muda lagi. Usianya sudah mencapai 65 tahun. Sebuah perjalanan panjang harus dilaluinya sebelum akhirnya dia bisa sampai dalam sebuah orbit kepopuleran. Sebelumnya, seperti yang banyak ditulis di media, Mpok Nori adalah seorang penari topeng-yang tampil keluar-masuk kampung.
Sejak muncul dalam serial sinetron itu, nama Mpok Nori semakin dikenal orang. Dia tidak lagi tampil hanya dalam kesenian Betawi, tapi juga dalam berbagai peran dalam acara televisi dan film, untuk menjadi komedian.
Dalam jagat komedi, Mpok Nori bukanlah Djudjuk Djuwariah-yang menjadi primadona. Dengan kemolekan wajahnya, peran Djudjuk adalah priayi-kalau tidak menjadi nyonya kaya-raya, anak seorang kaya, dan gadis yang digila-gilai oleh pria. Namun Djudjuk selalu menjadi roh keberhasilan pertunjukan. Dia memang sripanggung.
Dia juga tidak seperti Sofia-pelawak wanita, juga di Srimulat, yang tampil menjadi seorang istri yang pelit, berkuasa terhadap suami. Sofia yang bertubuh besar itu menjadi lawan main yang tangguh bersama Asmuni. Kelucuan Asmuni selalu terpancing dengan dialog-tek-tok dalam istilah para pelawak-yang cepat dan cerdas.
Dia bukan pula seperti Ratmi B-29, pelawak wanita yang terkenal pada 1970-an. Seperti pesawat pengebom Amerika saat itu, dengan gerak yang sangat lincah dan dianugerahi mimik wajah yang jenaka, Ratmi mengebom dengan kelucuan dan kesegarannya. Itu sebabnya dia laku berperan dalam banyak film komedi pada masa itu.
Menyaksikan Mpok Nori di layar televisi adalah sebuah suguhan dengan kesederhanaannya. Namun dia punya senjata, yakni celetukannya yang segar dan tentu saja bicara dengan suaranya yang melengking. "Emak saya dulu ngidam kaleng rombeng, makanya suara saya jadi kenceng begini," katanya dalam sebuah acara di televisi. Orang pun tertawa.
Meraih popularitas pada usia yang tidak muda lagi memang membuat Mpok Nori tidak selincah para komedian wanita lainnya yang jauh lebih muda darinya. Namun Mpok Nori selalu menghibur siapa saja. Kerut di wajahnya menjadi sebuah penanda kesetiaannya dalam menjalani perannya. Dia menutup perjalanannya dalam penuh kesetiaan hingga akhir hayatnya, Jumat pekan lalu.
Malam di pinggir Jakarta, sunyi. Tak ada suara radio tetangga. Sudah lama kesenian tradisional tak terdengar lagi.