Umbu TW Pariangu, Dosen Fisipol, Undana, Kupang
Polemik larangan merangkap jabatan di partai politik dan pemerintahan kembali mencuat. Sorotan ditujukan ke Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, yang kini masih aktif menjabat Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga. Larangan Presiden Jokowi untuk rangkap jabatan sepertinya dianggap angin lalu oleh Puan.
Menurut Puan, posisinya di partai selama ini nonaktif dan ia selalu berfokus pada pekerjaan dan tanggung jawab di eksekutif sebagai menteri (Tempo.co, 1 April). Sikap Puan gayung bersambut dengan opini politikus PDIP, Effendi Simbolon, yang menganggap bahwa aturan lisan larangan rangkap jabatan tidaklah berdasar.
Dulu, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDIP salah satu partai yang turut memprotes rangkap jabatan kementerian. Namun, setelah kue eksekutif diraih, para tuan dan puan PDIP seolah berubah sikap. Sinisme di atas konon terkait dengan persiapan partai berlambang moncong putih itu melaksanakan kongres pada April ini, di mana Puan disanterkan akan masuk lagi dalam kepengurusan periode 2015-2020. Puan dianggap sebagai sumber investasi politik untuk melanjutkan dominasi trah Sukarno. Namun, jika benar ia masih dipakai lagi dalam kepengurusan berikutnya, rakyat pasti mempertanyakan sejauh mana loyalitasnya terhadap PDIP sekaligus terhadap kebijakan pemerintah.
Walaupun dari aspek perundang-undangan yang mengatur lembaga kepresidenan, kementerian, pemerintah daerah, hingga di tingkat pemerintahan desa tak ada larangan eksplisit terkait dengan rangkap jabatan, ketentuan tersebut sudah searah dengan jarum jam prinsip pemerintahan yang demokratis. Pelibatan menteri asal parpol sejatinya ditujukan untuk memperkuat dukungan politik dan mengawal kerja pemerintah. Koalisi figur yang terbangun semestinya untuk mensolidkan kerja di kabinet maupun di pemerintahan. Sayangnya modal elektoral tersebut kerap bersinggungan dengan ekses mutualisme politik, di mana jabatan menteri kerap dijadikan sumber akses politik dan ekonomi bagi parpol.
Selain berpotensi melahirkan praktek korupsi dalam wujud "sapi perah" oleh partai sebagaimana terlihat dalam kasus Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Agama, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, rangkap jabatan memicu konflik kepentingan atau alih fungsi jabatan dan membuat fokus kerja menteri terpecah. Itu sebabnya, para menteri yang telah diserahi mandat politik sebagai pembantu presiden wajib menjaga komitmen dan integritas untuk mewakafkan seluruh pikiran dan tenaganya bagi kepentingan rakyat dan negara tanpa perlu terlibat lagi dengan bonggolan urusan di luar kementerian, termasuk partai.
Sementara NasDem dengan tegas melarang rangkap jabatan tiga kadernya di kabinet dan pencalonan Ketua PKB Muhaimin Iskandar di bursa kementerian terganjal karena lebih memilih mengurus partai, PDIP sebagai partai oposan yang kritis dan pembela wong cilik semestinya lebih militan bersikap. Bukan malah memakai politik diplopia (penglihatan ganda) dengan membiarkan kadernya yang satu mundur, tapi kader yang lain "dianakemaskan".
Rupanya kicauan lawas mantan Presiden Filipina Manuel Quezon, "My loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins", belum mampu menjinakkan gerak liar si Banteng. *