Ibnu Burdah, pemerhati Timur Tengah
Selama beberapa bulan terakhir, tanda-tanda runtuhnya Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) sebenarnya semakin kuat. Perkembangan eksternal semakin tak berpihak kepada mereka, seperti menguatnya sentimen anti-ISIS, penguatan konsolidasi antarnegara kawasan dan negara besar untuk melawan mereka, serta berjalannya kerja "bareng" Sunni-Syiah di beberapa front di Irak.
Hal terakhir merupakan faktor yang sangat penting, tapi mungkin sulit dipertahankan setelah serangan besar-besaran koalisi Saudi terhadap kaum Syiah Houthi di Yaman baru-baru ini. Karena itu, di tengah kocar-kacirnya barisan mereka di Irak, ISIS justru merangsek masuk ke pinggiran Damaskus dan berhasil menguasai kamp pengungsi Palestina Yarmuk di kota tersebut. Bisa diduga, penguasaan kelompok ini dibarengi dengan jatuhnya korban dalam jumlah besar. Apalagi, warga Palestina di kamp ini memberikan perlawanan.
Dalam lingkup internalnya, ISIS dikabarkan semakin banyak mengalami disorganisasi dan kemungkinan melemahnya logistik mereka seiring dengan turunnya harga minyak mentah. Pembangkangan dari pengikut sepertinya juga menguat seiring dengan keterdesakan mereka di banyak front, kekejian di luar batas yang mereka lakukan, dan kebencian masyarakat kawasan terhadap mereka.
Ada beberapa skenario akhir yang mungkin terjadi pada akhir perang ISIS setelah serangan Arab Saudi ke Yaman. Pertama, kekuasaan ISIS yang membentang di sebagian besar wilayah Irak dan Suriah runtuh dan dapat direbut kembali. Kemudian, ISIS beralih dari kelompok yang memiliki kekuasaan wilayah dan pemerintah menjadi kelompok teroris sebagaimana Al-Qaidah.
Skenario ini terjadi jika kekuatan-kekuatan regional dan kawasan masih bisa bekerja sama dan mampu mengalahkan ISIS di Irak dan Suriah. "Ibu kota" mereka di Irak, Mosul, kemungkinan akan bisa direbut kembali meski memerlukan proses yang lama dan pasti tak mudah. Kota Tikrit, kota kunci untuk menyarang Mosul, bisa dikatakan sudah bisa direbut kembali. Jika Mosul jatuh, bisa dikatakan "negara" horor berkedok khilafah ini telah kehilangan kekuasaan di Irak.
Di Suriah, mereka memang terus terdesak. Namun konflik keras dan rumit di negara itu mungkin akan membuat mereka lebih lama bertahan di sana. Kemenangan mereka di kamp pengungsi Yarmuk baru-baru ini menjadi bukti. Apalagi, mereka akur kembali dengan kelompok teroris lain cabang Al-Qaidah di Suriah, yaitu Jabhah Nusrah. Sepertinya, diperlukan waktu cukup lama untuk meruntuhkan kekuasaan mereka di Suriah, khususnya di "ibu kotanya", Raqqa.
Skenario kedua, mereka mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama, baik di Irak maupun Suriah. Skenario ini bisa saja terjadi karena beberapa hal. Koalisi kawasan, terutama kekuatan Sunni, Syiah, dan Kurdi, terasa sangat rapuh. Perang belum usai, tapi Saudi dan negara Teluk lain sudah berulang kali memprotes keras kuatnya peran Iran di lapangan. Iran dipandang negara-negara itu sebagai musuh nomor satu, alias lebih berbahaya ketimbang ISIS. Serangan pasukan koalisi yang dipimpin Saudi terhadap kaum syiah Houthi di Yaman dipastikan semakin memperkuat terjadinya skenario kedua ini. Kurdi, salah satu garda terdepan dalam perang melawan ISIS, juga memiliki agenda sendiri, yakni pendirian negara Kurdistan Merdeka di Irak.
Hal lainnya yang bisa memperkuat terjadinya skenario kedua adalah kehadiran ISIS sebenarnya disambut baik oleh sejumlah penguasa yang terancam oleh gerakan protes rakyat. Dengan alasan adanya ancaman dari ISIS, para penguasa itu memiliki legitimasi lebih kuat untuk membungkam suara rakyatnya. Kita masih ingat bagaimana sikap awal para penguasa kawasan itu ketika ISIS pertama kali mendeklarasikan pendirian negara khilafah di Irak. Banyak dari para penguasa itu justru memojokkan pemerintah Irak dan cenderung membela ISIS.
Skenario ketiga, ISIS memenangi perang dan berjaya di Suriah dan Irak, bahkan memperluas wilayahnya. Skenario ini masih mungkin terjadi. Hal ini berarti bencana, bukan hanya bagi Timur Tengah, tapi juga bagi dunia.
Bagaimanapun, ISIS dan Al-Baghdadi telah menjadi simbol penting bagi perlawanan kelompok Islam radikal terhadap Barat. Jika ISIS ternyata mampu mengkonsolidasi kekuatan ekstrem radikal di berbagai wilayah di dunia melalui berbagai propagandanya, sementara kekuatan regional dan internasional gagal menyatukan barisan, kekuasaan ISIS masih berpotensi tetap berjaya, setidaknya di wilayah Irak dan Suriah. Harus diingat, koalisi untuk menjatuhkan ISIS ini berdiri di atas fondasi yang sangat rapuh dan hanya sesaat.
Tak adanya skenario pasca-ISIS yang disepakati hingga sekarang juga membuat kekuatan-kekuatan kawasan bertindak sangat hati-hati dalam perang melawan ISIS. Kendati mereka menghadapi ancaman nyata di depan mata, hingga sekarang tak ada satu pun negara di kawasan (di luar Irak-Suriah) yang bersedia mengirimkan pasukan daratnya untuk melawan ISIS, baik Turki, Yordania, Iran, maupun Arab Saudi.
Jika memperhatikan perkembangan belakangan, skenario pertama dan kedua lebih mungkin terjadi. Skenario ketiga, kendati sangat kecil kemungkinannya, juga tak bisa dinihilkan sama sekali. *