Jebolnya penerimaan pajak pada triwulan pertama tahun ini sangat mengkhawatirkan. Kabar buruk ini juga tepat bersamaan dengan datangnya "kabar baik" bagi aparat pajak. Secara total, mereka akan menerima tunjangan kinerja sebesar Rp 4 triliunbesaran pada masing-masing orang bergantung pada kinerjanya.
Penerimaan pajak pada triwulan pertama 2015 ini lebih buruk dibanding tahun lalu. Bahkan, dilihat dari persentase atau pencapaiannya, kinerja Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tahun ini merupakan yang terburuk dalam lima tahun terakhir.
Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan, dalam tiga bulan pertama tahun ini, penerimaan pajak hanya Rp 198,2 triliun atau 15,3 persen dari total target pajak pada 2015. Dalam kurun yang sama tahun lalu, penerimaan pajak mencapai Rp 210,1 triliun atau 21,3 persen dari target pajak 2014.
Penerimaan pajak yang di bawah target ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah untuk menggenjot usahanya dalam sembilan bulan terakhir. Tingkat pencapaian penerimaan pajak ini amat penting bagi pemerintah karena target pajak sebesar Rp 1.380 triliun itu merupakan 77 persen dari total penerimaan negara.
Presiden semestinya tidak menenggang kegagalan yang terus berulang ini. Efek kegagalan tersebut akan langsung dirasakan pemerintahannya. Bukan tidak mungkin, banyak program pemerintah Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dijanjikan kepada rakyat akan sulit direalisasi. Misalnya program pendidikan, kesehatan, pembangunan dan infrastruktur yang masif.
Janji Direktorat Jenderal Pajak harus ditagih untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sebagai upaya meningkatkan penerimaan pajak. Intensifikasi merujuk pada upaya meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak yang sudah ada, sedangkan ekstensifikasi merupakan usaha memperluas cakupan dan jumlah wajib pajak baru.
Dua upaya itu sama penting, tapi sebaiknya pemerintah tidak "berburu di kebun binatang". Para wajib pajak yang patuh terus diuber-uber, sedangkan yang melanggar atau bahkan belum membayar pajak justru dibiarkan melenggang bebas. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia menunjukkan, dari 25 juta pengusaha "layak pajak", hanya 600 ribu yang tergolong patuh.
Intensifikasi memang masih sangat dibutuhkan, terutama bagi wajib pajak yang nakal, seperti pada perusahaan perkebunan dan pertambangan. Ditengarai, pajak yang mereka bayarkan tidak sepadan dengan angka penjualan dan laba mereka. Hal ini belum menghitung penyelundupan berbagai komoditas, seperti timah, yang pasti tidak membayar pajak.
Itu sebabnya, intensifikasi sebaiknya ditujukan kepada mereka yang nakal. Pada saat yang sama, ekstensifikasi juga harus terus dilakukan untuk menambah jumlah wajib pajak. Upaya paksa badan (gijzeling) patut dipuji, tapi sebaiknya tidak dilakukan "hangat-hangat tahi ayam". Paksa badan ini harus dilakukan secara terus-menerus untuk menimbulkan efek jera.
Presiden harus memberikan target yang jelas. Jika target penerimaan pajak pada triwulan II gagal dicapai lagi, gula-gula tunjangan kinerja layak dievaluasi kembali.