Abdul Salam Taba, alumnus School of Economics, The University of Newcastle, Australia
Pengalihan tarif layanan percakapan internasional ke tarif lokal lewat penyalahgunaan kartu SIM operator seluler (SIM box fraud) menarik untuk dicermati. Selain marak dipraktekkan, kegiatan itu dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan merugikan penyelenggara telekomunikasi lokal.
Maraknya SIM box fraud ini dipicu iming-iming tarif sambungan langsung internasional (SLI) murah ke pihak asing yang ingin berkomunikasi ke Indonesia, dan umumnya dipakai oleh orang Indonesia di luar negeri yang mau menelepon keluarganya di Indonesia.
Pelaku SIM box fraud di Indonesia bekerja sama dengan sindikat kriminal dari negara asal panggilan yang memanipulasi (mengkonversi) jaringan suara menjadi voice over internet protocol (VoIP). Setelah itu, VoIP dikirim ke router milik pelaku lokal dan ditransmisikan ke perangkat SIM box, yang disisipi kartu prabayar operator lokal dan berfungsi sebagai GSM Gateway.
Selanjutnya, panggilan diteruskan ke nomor pengguna di Indonesia, tapi nomor yang tertera di ponsel tujuan panggilan adalah nomor SIM box. Akibatnya, percakapan hanya dikenai tarif lokal, bukan tarif SLI, sehingga operator merugi.
Baca Juga:
Kerugian itu dialami operator Indonesia dan operator di berbagai negara. Di Indonesia, potensi kerugian operator berkisar Rp 1,26 triliun per tahun.
Penyalahgunaan SIM box merupakan praktek bisnis yang melanggar hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 22, dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Selain melarang penyelenggaraan telekomunikasi tanpa izin menteri, ketiga pasal itu melarang pemanipulasian jaringan telekomunikasi, dan mengharuskan perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan, dan atau digunakan di Indonesia mematuhi persyaratan teknis dan berizin (bersertifikat).
Sanksi bagi yang melanggar Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 22 UU Nomor 36 Tahun 1999 adalah diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta (Pasal 47 dan Pasal 49UU Nomor 36 Tahun 1999). Sedangkan pelanggar Pasal 32 ayat 1 diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan atau denda Rp 100 juta.
Upaya regulator (Kementerian Komunikasi dan Informatika) bersama Polri dan operator menertibkan SIM box fraud-disebut pula penyalahgunaan refilling traffic terminasi international (RTTI)-selama periode Desember 2014-Januari 2015-patut diapresiasi. Sebab, berhasil mengungkap tiga kasus RTTI di Jakarta, Bogor, dan Indramayu.
Namun penertiban itu perlu dibarengi dengan upaya lain yang bisa mencegah kegiatan ilegal tersebut, seperti mengawasi registrasi kartu prabayar secara ketat, misalnya melalui retail resmi operator. Sebab, salah satu pemicu praktek RTTI adalah longgarnya mekanisme registrasi pelanggan baru sehingga pelaku bebas membeli ribuan kartu SIM tanpa identitas valid dan sah. Pengawasan SIM box juga perlu digalakkan.
Kemampuan regulator bersama pihak Polri dan operator melakukan penertiban secara terukur, termasuk mengawasi registrasi kartu prabayar dan penggunaan alat SIM box secara ketat, berimplikasi ganda. Selain mencegah maraknya penyalahgunaan SIM box, hal ini dapat meningkatkan perolehan dan kualitas layanan operator. *