Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
Survei Setara Institute baru-baru ini menyebut satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah, mengkonfirmasi fenomena tersebut.
Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya. Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013).
Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan UUD 1945 menyisakan persoalan pelik seperti itu. Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda pemuda Indonesia. Mereka harus segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatannya untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan radikalisme.
Dalam hal tersebut, pemuda Indonesia dapat meniru apa yang telah diusahakan Tedi Kholiludin (Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama, Semarang) dan Rony Chandra Kristanto (rohaniwan di Gereja Isa Almasih Pringgading, Semarang).
Guna menekan radikalisme, mereka menyelenggarakan "Live in Pondok Damai". Dalam acara tahunan yang digelar sejak 2007 itu, para peserta melakukan dialog lintas agama secara lebih terbuka, santai, dan sesuai dengan realitas yang ada. Basis kegiatan Pondok Damai adalah testimoni dari para peserta tentang pengalamannya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan, ketika berhubungan dengan penganut agama lain.
Berbeda dengan kegiatan dialog lintas agama yang biasanya cenderung satu arah-narasumber yang berbicara dan peserta menjadi pendengar-di komunitas Pondok Damai, semua peserta aktif terlibat dan berinteraksi. Misalnya, tiap sesi acara dipastikan yang duduk di kanan dan kirinya adalah teman yang berbeda keyakinan. Selain itu, ada sesi berkunjung ke rumah-rumah ibadah dan mondok (live in) di berbagai komunitas keagamaan.
Apa yang dirintis Tedi dan Rony merupakan inisiatif anak muda Indonesia yang unik, cerdas, dan genuine. Mereka tergugah melakukan perubahan melalui kegiatan-kegiatan kecil yang mampu menginisiasi adanya dialog antar-umat beragama yang lebih santun, damai, dan membumi.
Kegiatan ini tentunya dapat mencegah dan mengurai persoalan radikalisme di Indonesia. Pasalnya, radikalisme bukan hanya masalah bagi umat muslim (Islam), tapi juga bagi agama Kristen dan Yahudi, sebagaimana yang pernah diutarakan Karen Armstrong dalam A History of God.
Selain kegiatan itu, peran serta Muhammadiyah dan NU melalui sayap pemuda dalam kegiatan ngeblog bersama-yang menawarkan gagasan berdimensi kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan-efektif untuk mencegah radikalisme. Lebih dari itu, cara ini lebih terhormat daripada harus memberedel media daring sebagaimana yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika baru-baru ini. *