TEMPO.CO, Jakarta - Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme
Praktek intoleransi di Indonesia memasuki situasi siaga satu. Bunyi peringatan tentang buruknya bangunan toleransi umat beragama tersebut disampaikan Komnas HAM. Menurut data yang dihimpun, sepanjang triwulan pertama 2015 terdapat lima pelanggaran kebebasan beragama. Secara garis besar, bentuk pelanggaran paling menonjol berkaitan dengan rumah ibadah, dari pelarangan pembangunan, penggunaan, penyegelan, hingga penyerangan.
Baca Juga:
Komnas HAM mendapatkan laporan soal penghentian pembangunan Masjid Nur Musafir Batuplat di Kupang, pelarangan penggunaan Musala Assyafiiyah di Denpasar, Bali, serta penyerangan di Masjid Az Zikra, Sentul, Bogor (Koran Tempo, 8 April). Kasus tersebut tidak sekadar meneguhkan dimensi keagamaan yang potensial melahirkan diskriminasi dalam relasi mayoritas-minoritas, tapi juga melukiskan betapa negara tidak hadir untuk menyelesaikan persoalan intoleransi. Aparat negara yang seharusnya membela korban justru memberikan impunitas kepada pelaku kekerasan.
Sudah sering terjadi kasus serupa di Tanah Air, tapi belum memperoleh penanganan serius dan komprehensif. Pemerintah belum menjadikan isu perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai skala prioritas. Padahal, di era pemerintahan Gus Dur, fondasi keberpihakan rezim kepada minoritas maupun penguatan pluralisme sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi berhasil dibangun. Karena itu, kemauan politik rezim selanjutnya sangat dinantikan agar kebhinnekaan benar-benar menjadi berkah bagi semua.
Penghapusan segala bentuk intoleransi beragama menjadi tanggung jawab bersama. Perlindungan negara tidak selalu berbentuk jaminan hukum. Ikhtiar preventif dapat dilakukan dengan melakukan langkah-langkah jangka panjang di bidang pengajaran, pendidikan, kebudayaan, dan penyebarluasan nilai-nilai anti diskriminasi sebagai implementasi dari gugus besar revolusi mental.
Azyumardi Azra (1999) menegaskan bahwa desain kurikulum pendidikan dan pembelajaran berbasis multikultural merupakan proyek edukasi yang punya pengaruh besar membentuk kesadaran masyarakat terhadap pluralisme. Pendidikan dapat menginternalisasi nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasinya, sehingga siap menghadapi realitas sosial yang majemuk.
Munculnya berbagai praktek intoleransi yang menyeruak belakangan ini sejatinya tidak bisa dipisahkan dari merebaknya gejala hipermultikulturalisme. Steve Fuller (2000) mencirikan bentuk hipermultikulturalisme sebagai gejala menganggap budaya dan agamanya sendiri paling baik dan superior, sedangkan kelompok lain inferior. Klaim berlebihan dengan menutup ruang interaksi dengan agama lain tersebut menumbuhkan benih prasangka dan kebekuan hubungan antarsesama.
Ketika paradigma tersebut mengkristal dan mengalami sofistikasi budaya, maka yang tampak di permukaan hanyalah paras agama yang kasar, kering dari kedamaian, dan menakutkan. Karena itu, sebagaimana kata cendekiawan Karen Armstrong, karena benih fundamentalisme selalu ada dalam setiap agama, maka sedapat mungkin elemen keagamaan mengkaji kembali teks suci yang lebih berwawasan humanis, toleran, dan mengayomi sesama.