Sungguh berbahaya langkah Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemilihan Umum menghalalkan pemberian hadiah bagi calon pemilih kepala daerah. Sekecil apa pun nilai suvenir itu akan cenderung tidak mendidik masyarakat dan merusak demokrasi.
Kebijakan baru itu disepakati dalam rapat konsultasi KPU dengan Komisi II DPR belum lama ini. Kesepakatan yang akan dituangkan dalam peraturan KPU mengenai tata cara kampanye tersebut memperbolehkan pemberian suvenir atau hadiah senilai tak lebih dari Rp 50 ribu. Menurut seorang anggota DPR, suvenir itu bisa berupa kaus, stiker, kartu nama, dan sebagainya.
Luasnya pengertian "suvenir" akan membuat aturan itu gampang disalahgunakan. Calon gubernur, bupati, dan wali kota akan memanfaatkan celah ini untuk menyuap pemilih. Suvenir toh bisa diberikan dalam bentuk apa saja, seperti beras, mi instan, atau barang yang cukup berharga bagi masyarakat bawah.
Anggota DPR dan KPU seharusnya paham, kebijakan baru itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perpu ini sudah disahkan menjadi undang-undang pada Januari lalu. Dalam Pasal 73 Perpu itu dinyatakan dengan jelas: "Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih."
Sanksi atas pelanggaran itu amat berat. Calon kepala daerah yang terbukti menabrak larangan tersebut bisa dibatalkan pencalonannya. Adapun tim kampanye yang melanggar aturan yang sama juga bisa diseret ke pengadilan dan terancam sanksi pidana.
Motif pembuatan kebijakan itu juga patut dipertanyakan. Soalnya, suap politik dalam pemilihan di negara kita cenderung semakin merajalela dan semestinya justru perlu diredam. Sesuai dengan data Indonesia Corruption Watch, kasus suap politik cenderung meningkat dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu 1999 terjadi 62 kasus, Pemilu 2004 ada 113 kasus, Pemilu 2009 terjadi 150 kasus, dan Pemilu 2014 ada 313 kasus. Di antara 15 daerah yang dipantau, Banten menjadi yang tertinggi dengan temuan 36 kasus, disusul Riau, Bengkulu, dan Sumatera Utara. Sedangkan yang terendah Nusa Tenggara Timur.
Pelonggaran pemberian suvenir juga akan membuat repot kalangan pengawas pemilu. Mereka akan sibuk membuat penilaian apakah jenis hadiah yang diberikan seorang calon kepala daerah merupakan pelanggaran atau tidak. Pengawas pemilu pun akan bingung: berpatokan pada undang-undang atau ketentuan KPU yang lebih longgar. Apabila mengabaikan undang-undang, panitia pengawas pemilu bisa dipersalahkan.
Itu sebabnya KPU perlu berhati-hati dalam membuat aturan baru. Lembaga ini tidak boleh menggerogoti ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang. Rapat konsultasi dengan DPR juga tidak menjadi pijakan untuk mengabaikan aturan dalam undang-undang. Kualitas pemilihan kepala daerah akan rusak bila sang calon semakin dilonggarkan untuk menyuap pemilih.