Seruan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Konferensi Asia-Afrika akan sia-sia jika para menterinya tidak sigap bergerak. Tuntutan Jokowi soal perlunya keadilan ekonomi dan kesejahteraan bangsa-bangsa Asia-Afrika akan seperti teriakan orang di tengah gurun bila tidak diterjemahkan ke dalam program kerja sama yang nyata. Bisa-bisa, desakan Jokowi itu akan masuk kotak-lalu terlupakan-seiring dengan berakhirnya Konferensi.
Di depan pemimpin 31 negara dan 89 perwakilan negara, Jokowi dengan gagah menyerukan tiga hal utama: pemerataan kesejahteraan ke negeri-negeri Selatan, solidaritas untuk tumbuh bersama dalam ekonomi dan konektivitas, serta stabilitas internal dan eksternal hak-hak asasi manusia. Ini kerja besar yang perlu dukungan mondial melalui apa yang disebut Jokowi sebagai reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta reformasi badan dunia lainnya, seperti International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), dan Bank Dunia.
Mengusulkan reformasi pada badan-badan internasional itu jelas bukan pekerjaan gampang. Perlu disusun langkah-langkah nyata, misalnya perlu menggandeng Cina, yang notabene merupakan raksasa ekonomi sekaligus anggota Dewan Keamanan dengan hak veto di PBB. Jepang, yang ada di daftar atas negara maju, juga tak boleh dilupakan. Jika keduanya lebih dapat mengimbangi Amerika Serikat, peran Asia bisa lebih ditingkatkan lagi. Sekadar contoh, Bank Infrastruktur Asia, yang diusung oleh Cina, berhasil menarik dukungan dari negara-negara Uni Eropa.
Kritik keras Jokowi terhadap IMF, ADB, dan Bank Dunia perlu dibaca dari dua arah. Dominasi lembaga-lembaga ini "tak akan usang" selama kawasan Selatan, termasuk Indonesia, tak memperkuat diri. Peran ketiga institusi ini akan menciut saat kita lebih mandiri. Keterlibatan mereka tak bisa dihapus begitu saja, karena kehadiran mereka kerap dikaitkan dengan kepercayaan pasar terhadap iklim investasi suatu negara. Sudah seharusnya pemerintah lebih cerdas dan hati-hati mempertahankan hubungan dengan lembaga-lembaga itu. Hadirnya Sri Mulyani di pucuk pimpinan Bank Dunia semestinya bisa menjadi jembatan Indonesia dalam merintis hubungan yang lebih positif.
Pidato Jokowi di atas membawa ingatan kita pada 23 tahun silam tatkala Presiden Soeharto mendesak urgensi serupa saat membuka 10 Tahun Peringatan Gerakan Non-Blok di Jakarta. Soeharto menyerukan reformasi PBB serta mendorong kerja sama ekonomi dan perdagangan di kawasan Selatan-Selatan. Sayang, seruan itu hampa. Selama hampir 2,5 dekade terakhir, 20 persen penduduk kawasan Utara tetap menguasai 70 persen sumber daya. Lebih dari 1,2 miliar warga Selatan hidup dengan pendapatan hanya US$ 2 (sekitar Rp 26 ribu) per hari.
Solidaritas Selatan-Selatan perlu diwujudkan dalam kerja sama kawasan yang konkret dan produktif untuk menghapus jurang ekonomi ini. Jika tak ada tindak lanjut, pidato Jokowi hanya akan menjadi seruan yang mandul. Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru bisa lebih berperan di level global-dengan memanfaatkan konektivitas Asia-Afrika.