Ketika kota-kota lain di dunia berjuang untuk menutup lokalisasi, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok malah berencana membangun lokalisasi baru di Ibu Kota setelah menyaksikan banyaknya pelacuran di tempat kos dan jaringan online. Ahok sebaiknya menghapus saja gagasan itu dari benaknya.
Lokalisasi bukanlah solusi bagi masalah pelacuran. Di atas kertas, lokalisasi seakan memudahkan pemerintah mengawasi dan membina para pelacur. Tapi, pada kenyataannya, lokalisasi tidak menyelesaikan masalah pelacuran dan malah melahirkan masalah-masalah baru.
Banyak penelitian menunjukkan dampak buruk lokalisasi pelacuran. Dampak buruk itulah yang membuat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup lokalisasi Gang Dolly dan Jarak pada tahun lalu.
Gang Dolly tak membuat nasib para pelacur menjadi lebih baik. Bahkan keberadaannya malah memudahkan anak di bawah umur atau anak sekolah menjadi pelanggan para pelacur yang sudah berumur, kegiatan yang jelas berpengaruh buruk dalam perkembangan psikologis anak-anak itu. Bisnis ini juga membuat anak-anak para pelacur malah terjerumus menjadi pelacur pula, yang membuat rantai bisnis pelacuran semakin sulit diputus.
Rencana Gubernur Ahok membuat apartemen khusus pelacuran dan pelacur berizin bukanlah gagasan baru. Itu hanya bentuk sederhana dari kebijakan legalisasi pelacuran di Belanda, negeri yang memiliki lokalisasi Distrik Lampu Merah yang terkenal.
Tapi kita tahu bahwa kebijakan legalisasi pelacuran di Negeri Kincir Angin itu berlaku puluhan tahun silam, dan kini pemerintah Belanda telah berubah sikap. Dulu Belanda melegalkan pelacuran untuk melindungi kerja para perempuan. Tapi, belakangan, sikap pemerintah berubah karena lokalisasi pelacuran justru berkembang tak terkendali.
Pelegalan pelacuran di sana juga tak memperbaiki kondisi pelacur. Bahkan, menurut pengakuan para pelacur Belanda dalam film dokumenter tentang pelacur tertua di sana, Meet The Fokkens, kebijakan itu justru meningkatkan kejahatan dan menggerus penghasilan mereka, sehingga mereka bahkan tak punya apa-apa lagi saat pensiun tiba.
Pelegalan itu juga melahirkan kerja paksa: sebagian besar pelacur di Distrik Lampu Merah adalah perempuan yang dipaksa melacur, bukan karena keinginan sendiri. Sebanyak 80 persen pelacur di Belanda merupakan orang asing, dan 70 persen di antaranya tak memiliki dokumen keimigrasian alias imigran gelap, yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi serta kekerasan.
Lokalisasi pelacuran juga dekat dengan kriminalitas. Di Belanda, keadaannya lebih parah. Organisasi kejahatan besar masuk ke bisnis ini dan kekerasan pun merebak. Lokalisasi pelacuran memunculkan perdagangan manusia, peredaran narkotik, pembunuhan, pencucian uang, dan berbagai kejahatan lain. Segala jenis kejahatan seakan menemukan surganya di lokalisasi pelacuran.
Dengan segala pengalaman buruk di kota dan negara lain itu, apakah Gubernur Ahok masih berkukuh membangun lokalisasi pelacuran baru di Jakarta, yang beberapa tahun lalu justru dihapus? Lebih baik Gubernur Ahok membantu kepolisian membuat Ibu Kota menjadi kota yang aman dan nyaman dihuni, serta memusatkan perhatian untuk menciptakan berbagai lapangan kerja baru yang bisa menampung banyak orang.