Perintah Presiden Joko Widodo agar eksekusi tembak mati Mary Jane Fiesta Veloso ditunda adalah keputusan tepat. Ini bukan pembatalan eksekusi. Sebab, nantinya bisa saja proses hukum menunjukkan Mary Jane, warga Filipina, memang bersalah.
Nasib Mary akan ditentukan oleh pengakuan Maria Kristina Sergio, sesama warga Filipina, yang beberapa jam sebelum Mary Jane dieksekusi menyerahkan diri ke polisi di negaranya. Maria mengaku dialah yang merekrut dan menjebak Mary Jane agar membawa narkotik hingga tertangkap di Yogyakarta, lima tahun silam.
Untuk sementara, Mary Jane terselamatkan. Vonis hukuman matinya bisa saja berubah jika kelak terbukti dia hanya korban kejahatan sindikat Maria. Kepada polisi Filipina, Maria mengaku merekrut Mary untuk dipekerjakan di Malaysia setelah lebih dulu menemui agen di Indonesia. Saat Mary ke Indonesia itulah narkotik seberat 2,6 kilogram diselipkan di kopernya. Mary mengaku tak tahu-menahu ada narkotik di kopernya.
Pengakuan Maria itu merupakan fakta baru yang harus dipertimbangkan. Pemerintah harus menunggu proses hukum terhadap Maria di negaranya tuntas. Dengan demikian, bisa dipastikan benarkah Mary Jane hanya korban kejahatan Maria atau memang dia kurir anggota sindikat seperti yang dituduhkan kepadanya.
Kini, nasib Mary Jane sepenuhnya di tangan Presiden Joko Widodo. Pasalnya, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh Mary. Pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) akan terbentur Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan PK dalam Perkara Pidana. Surat ini membatasi pengajuan PK hanya satu kali, dan kesempatan tersebut sudah digunakan oleh Mary. Selayaknya surat edaran ini ditinjau ulang karena terbukti, dalam perkara Mary, novum atau bukti baru dapat ditemukan kapan saja.
Jika pengajuan PK kedua tidak dimungkinkan, yang tersisa adalah upaya politik. Presiden Joko Widodo harus menguatkan instruksinya yang menangguhkan eksekusi mati Mary itu dengan mengeluarkan kebijakan khusus. Jangan sampai eksekusi mati Mary dilaksanakan sebelum proses peradilan terhadap Maria menghasilkan putusan berkekuatan hukum tetap. Jika vonis terhadap Maria itu ternyata dapat membantu Mary secara signifikan, Jaksa Agung Indonesia dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan Mary.
Untuk itu, penasihat hukum Mary mesti kembali mengajukan grasi. Memang, sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 yang merupakan perubahan terhadap UU No. 22/2002 tentang Grasi, pengajuan grasi hanya bisa satu kali. Sebelumnya, Presiden sudah menolak permohonan grasi Mary.
Sebagai langkah politis, Presiden Joko Widodo dapat saja menganulir keputusan penolakan pemberian grasi itu jika memang proses hukum membuktikan Mary Jane benar-benar korban perdagangan manusia. Bukankah pertimbangan Presiden dalam memberikan grasi termasuk pertimbangan kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi rasa keadilan serta kepastian hukum? Kebijakan khusus dari Presiden ini dapat menjadi status akhir dari penangguhan eksekusi mati terhadap Mary Jane.