Rencana Dewan Perwakilan Rakyat mengubah komite etik Komisi Pemberantasan Korupsi dari bentuk ad hoc menjadi permanen sebaiknya diurungkan. Format ad hoc yang berlaku selama ini sudah bagus. Kinerja anggota komite dalam menyelesaikan kasus di internal KPK bisa diterima oleh mereka yang dituduh melanggar kode etik maupun publik.
Ada sejumlah implikasi jika agenda Dewan ini dipaksakan, di antaranya menyangkut wewenang lembaga anti-rasuah dalam menangani perkara korupsi. Jika KPK berada di bawah organisasi permanen seperti komite etik, intervensi sulit dihindari. Apalagi rumusan komite etik gagasan Dewan sekaligus berfungsi sebagai pengawas komisioner KPK.
Agenda Dewan ini terkesan bak peribahasa "ada udang di balik batu". Sudah bertahun-tahun Dewan berhasrat merevisi UU KPK, tapi selalu gagal karena ditentang banyak kalangan. Peluang merevisi itu dibuka lagi dalam sidang paripurna pada Jumat lalu. Dewan menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang perubahan atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Namun persetujuan ini tidak gratis. Kompensasinya, Dewan akan merevisi UU KPK, yang pembahasannya satu paket dengan pembentukan komite etik KPK. Anggotanya direkrut secara permanen untuk jangka waktu tertentu. Revisi dan pembentukan komite etik ala DPR ini ditargetkan kelar pada 2016.
Saking bersemangatnya ingin merevisi UU KPK, Dewan sampai tak melihat sisi positif komite etik yang berlaku sekarang. Mereka bahkan menutup mata bahwa komite etik ini dibentuk hanya bersifat insidental. Organisasi itu diperlukan ketika muncul kasus dugaan pelanggaran di internal KPK.
Setelah dugaan pelanggaran diputuskan salah atau benar, komite etik itu otomatis bubar. Kinerja anggota komite ini juga gampang dievaluasi. Jika buruk, kelak mereka tidak dipilih lagi. Dengan masa kerja singkat, komite ini tidak mudah diintervensi dan tak punya waktu untuk mengintervensi KPK.
Sebaliknya, bila komite itu permanen, tak sedikit mudaratnya. Di antaranya, fungsi komite bakal tumpang-tindih dengan kewenangan penasihat KPK. Penasihat KPK sendiri-dalam UU KPK-perannya diatur tidak mengikat. Nasihat yang disampaikan kepada pemimpin KPK sebatas menjadi pertimbangan.
Justru komite etik permanen-yang masa kerjanya bisa bertahun-tahun-berpotensi merangsang intervensi terhadap KPK. Dewan semestinya ingat bahwa KPK sudah lama memiliki sistem pengawasan internal. Tugasnya antara lain merespons laporan dari dalam dan luar KPK. Pengawas internal membentuk tim khusus, yang tugasnya meneliti laporan tersebut.
Singkat kata, komite etik KPK secara permanen tidaklah dibutuhkan. Keberadaannya akan mubazir karena tidak memiliki fungsi dan tujuan memperkuat KPK. Apalagi kalau kualitas anggota komite tak lebih hebat, atau setidaknya sederajat, dengan pemimpin KPK. Tanpa diawasi, KPK sudah memiliki pengawas "permanen" sendiri tanpa digaji. Mereka adalah publik yang setiap saat meneropong kinerja KPK.