TEMPO.CO, Jakarta - Sutrisno, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ujian nasional (UN) kembali digelar. UN 2015 ini boleh dikatakan sebagai yang paling menggembirakan. Sebab, ia tak lagi menjadi penentu kelulusan seorang siswa. Hasil UN hanya dijadikan bahan evaluasi, pemetaan mutu pendidikan, dan dasar seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pelaksanaan UN 2015 menggunakan dua metode, yaitu ujian berbasis kertas (paper-based test) atau UN manual, dan ujian berbasis komputer (computer-based test) atau UN CBT yang dikenal dengan sebutan UN online. UN CBT diyakini lebih efisien dari segi waktu dan anggaran serta meminimalkan kecurangan dan menuntut peserta didik agar lebih mandiri. Namun tidak semua sekolah mampu menyelenggarakan UN CBT akibat ketiadaan infrastruktur (komputer, jaringan Internet, listrik, dan sumber daya manusia). Di samping itu, guru dan siswa belum sepenuhnya menguasai ilmu teknologi informasi komunikasi (TIK) dan jaringan komputer.
Menjelang pelaksanaan UN, masih ada laporan terjadinya sejumlah kendala. Kendala paling dominan adalah kapasitas bandwidth dan proses unduh. Itu juga yang memicu sejumlah sekolah mundur dari keikutsertaan UN CBT ini. UN CBT masih bersifat piloting atau perintisan, sehingga mungkin terjadi gangguan teknis, serangan virus, ataupun ulah peretas yang mengakibatkan kebocoran soal dan kevalidan UN. Masalah lainnya, bagaimana kalau hasil UN CBT lebih rendah daripada UN manual? Mana yang akan dipakai Mendikbud Anies Baswedan sebagai bahan evaluasi dan pemetaan mutu pendidikan?
Kebijakan yang diambil Mendikbud dalam memperbaiki sistem dan pelaksanaan UN layak didukung dan diapresiasi, dengan catatan pemerintah benar-benar siap dan konsisten merintis perubahan ini. Untuk meraih sukses memang perlu terobosan, waktu, biaya, proses, dan pengorbanan. Akan lebih baik lagi jika penerapan teknologi dan informasi serta ilmu komputer diintegrasikan dalam proses pembelajaran di sekolah serta bentuk-bentuk evaluasi belajar. Hal ini bermanfaat untuk mencetak generasi masa depan bangsa berbudaya TIK. Segala kekurangan yang timbul dalam UN CBT hendaknya diperbaiki dan terus ditingkatkan supaya pelaksanaan UN benar-benar sesuai dengan fungsinya.
UN 2015 menjadi ujian berat bagi guru untuk jujur dalam menilai siswanya. Sesuai dengan prosedur operasional standar UN 2015, sekolah diberi kebebasan untuk menentukan persentase besaran nilai ujian sekolah dan rata-rata nilai rapor yang akan menjadi syarat utama kelulusan tersebut, yakni 30-50 persen nilai ujian sekolah dan 50-70 persen nilai rapor. Di sinilah dituntut sikap profesional, konsistensi, obyektif, dan kejujuran para guru dalam memberikan nilai sebagai dasar kelulusan. Mendongkrak nilai berarti menyimpang dari hakikat pendidikan dan sama saja dengan menjerumuskan siswa dalam kebodohan.
UN 2015 yang menggembirakan jangan dikotori oleh permainan curang, rekayasa, dan ketidakjujuran. UN bukan hanya ujian untuk kelulusan, tapi juga ujian kejujuran bagi siswa, guru, sekolah, birokrat, serta pengambil kebijakan UN. UN tidak cuma ujian untuk mengukur kemampuan peserta didik, tapi juga ujian keberanian serta ujian kejujuran untuk semua pihak. Jika hal ini terlaksana, kualitas pendidikan secara nasional dapat ditentukan. Dengan diketahuinya kualitas pendidikan secara benar, pendidikan secara nasional dapat dipetakan secara akurat.