TEMPO.CO, Jakarta - Faisal Assegaf, Pemerhati Timur Tengah dan Pendiri Albalad.co
Lengkap sudah nasib apes yang menimpa Al-Ikhwan al-Muslimun, partai pemenang pemilihan parlemen dan presiden di Mesir. Pengadilan di Ibu Kota Kairo pada Sabtu pekan lalu menjatuhkan vonis hukuman gantung bagi pemimpin tertinggi Al-Ikhwan, Muhammad Badii, serta 13 anak buahnya. Dia diputus bersalah atas dakwaan merencanakan serangan teror terhadap fasilitas-fasilitas milik negara, termasuk mendanai unjuk rasa besar-besaran di Lapangan Rabiah al-Adawiyah, Kairo, pada Agustus 2013.
Takdir nahas Al-Ikhwan ini dimulai dengan kudeta terhadap Presiden Muhammad Mursi pada Juli 2013. Sebulan sehabis tragedi Rabiah, pengadilan Mesir menyatakan Al-Ikhwan sebagai kelompok terlarang. Desembernya, pemerintah Mesir mengumumkan Al-Ikhwan organisasi teroris.
Apa yang berlaku di Mesir—berkuasanya lagi militer dengan naiknya Jenderal Abdul Fattah as-Sisi ke tampuk kekuasaan—sejatinya bukan hal mengejutkan. Sulit membayangkan negara-negara Arab dapat menjadi negara demokratis dalam arti sebenarnya. Selama ini semua negara Arab bisa "stabil" karena diperintah secara diktator, baik itu dalam bentuk republik maupun monarki.
Hipotesis ini sudah terbukti setelah terjadi Musim Semi Arab. Rontoknya pemerintahan diktator di sejumlah negara di Timur Tengah—Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Muammar Qaddafi (Libya)—bukannya membikin mereka menjadi lebih baik dan aman. Yang berlaku malah hancur dan porak-poranda.
Mesir, selepas tumbangnya rezim Mubarak, menghadapi pertarungan politik antara kelompok militer dan Al-Ikhwan yang mewakili kalangan sipil. Kondisi keamanan di Negeri Piramida ini juga menakutkan. Mereka selalu dihantui bom mobil, serangan bunuh diri, atau serbuan milisi Islam radikal yang beroperasi di Semenanjung Sinai.
Ketiadaan iklim demokrasi di negara-negara Arab sebagai faktor internal mengakibatkan revolusi sipil atau demokratisasi sulit berubah. Kelompok-kelompok sipil yang menang pemilu, seperti Al-Ikhwan di Mesir atau Partai Nahda di Tunisia, menjadi gagap saat berkuasa. Karena miskin pengalaman dan kerap ditindas, mereka tidak tahu bagaimana mengelola persoalan politik dan ekonomi. Inilah yang kemudian menjadi bom waktu.
Lantaran selalu ditindas, mereka bingung bagaimana memulai rekonsiliasi dan berbagi kekuasaan dengan rezim lama. Padahal inilah resep agar kemenangan revolusi sipil bisa bertahan lama. Tentu saja jangan menafikan ketidakrelaan rezim lama yang ingin berkuasa lagi karena takut kehilangan sumber-sumber fulus mereka. Belum lagi pertentangan antarfaksi berlatar aliran politik, kesukuan, atau agama/sekte.
Semua kenyataan itu kian diperparah oleh tidak kondusifnya situasi kawasan sebagai faktor eksternal. Timur Tengah dikenal sebagai wilayah yang kerap dan gampang bergolak. Jaringan teroris transnasional selalu menyasar negara yang dilanda konflik bersenjata untuk memperkeruh keadaan sekaligus mengembangkan kekuatan. Belum lagi negara-negara besar berebut pengaruh di kawasan Timur Tengah.
Akhirnya dua pilihan yang sama pahitnya tersedia bagi penduduk Timur Tengah: mempertahankan rezim otoriter demi terpeliharanya kestabilan semu atau belajar berdemokrasi tapi berakibat konflik tidak berujung.