Perlambatan ekonomi seperti tampak dari data-data kuartal I tahun ini tak boleh dianggap remeh. Pemerintah harus bersikap lebih realistis agar kebijakan yang dibuat tak berujung pada blunder lebih parah. Angka-angka yang baru dikeluarkan Badan Pusat Statistik, dua hari yang lalu, menunjukkan ada beberapa target yang perlu dilihat kembali apakah masih masuk akal.
Mirip mesin diesel yang perlu pemanasan, ekonomi yang sedikit melambat memang biasa terjadi di awal tahun. Itu pula sebabnya para analis biasa menggunakan performa di kuartal kedua agar mendapatkan gambaran lebih baik untuk sepanjang tahun. Yang tak biasa, lesunya ekonomi kali ini terjadi di sisi produksi maupun konsumsi.
Produksi pangan menurun akibat mundurnya periode tanam. Produksi minyak mentah dan batu bara juga tak mampu beranjak, sehingga industri kilang minyak pun tumbuh negatif. Industri manufaktur, yang biasanya diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja, hanya tumbuh 3,87 persen. Masalahnya, jika melihat catatan impor barang modal serta bahan baku/penolong yang ikut menurun, agak sulit berharap kinerja sektor ini akan membaik pada kuartal berikutnya.
Pada saat yang sama, dari sisi permintaan angkanya juga buruk. Harga dan permintaan akan komoditas ekspor kita masih bertahan di posisi rendah karena ekonomi di kawasan dan negara-negara mitra dagang utama belum sepenuhnya pulih. Akan semakin berat membuka lapangan kerja baru bagi penganggur yang kini bertambah menjadi 7,45 juta jiwa.
Situasi ini secara teoretis bisa diatasi. Di antaranya jika pemerintah memberi tambahan stimulasi melalui belanja anggaran, yang biasanya disalurkan lewat proyek konstruksi dan infrastruktur atau konsumsi pemerintah lainnya. Tapi, lagi-lagi, jalur ini kurang bisa dijadikan jalan keluar yang memadai lantaran isi kantong pemerintah tak cukup tebal. Apalagi penerimaan pajak pada tiga bulan pertama tahun ini amat memprihatinkan. Sektor ini hanya mampu meraup 13,65 persen dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan sebesar Rp 1.296 triliun.
Pencapaian hasil pajak terburuk untuk kuartal I dalam lima tahun belakangan ini mencerminkan dua hal. Pertama, target yang ditetapkan terlalu tinggi. Kedua, kinerja aparat pajak belum maksimal. Repotnya, menggenjot penarikan pajak dalam situasi ekonomi yang lesu seperti saat ini jelas bukan cara bijaksana. Bisa pula berisiko membuat investor keder.
Target pajak yang kelewat agresif itu perlu direvisi. Belanja berlebihan juga harus dipangkas. Pemerintah jangan memberi sinyal panik yang justru bisa memperburuk situasi. Pesimisme para pelaku usaha, yang terlihat dari turunnya indeks tendensi bisnis pada kuartal pertama ini, tak boleh dibiarkan berlaru-larut. Debirokratisasi perizinan untuk memudahkan investasi, dan insentif serta keringanan pajak yang dijanjikan, harus benar-benar dijalankan.
Terakhir, barangkali inilah waktunya bagi Presiden Joko Widodo untuk mengganti menteri-menteri ekonomi yang tak kompeten.***