Kemenangan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin di praperadilan merupakan pukulan berat bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Tersangka kasus korupsi ini berhasil memanfaatkan putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek sengketa praperadilan.
Sulit menyalahkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Yuningtyas Upiek Kartikawati, yang mengabulkan gugatan Ilham. Nyatanya, dalam sidang praperadilan, KPK tidak menunjukkan dua alat bukti yang digunakan untuk dasar penetapan Ilham sebagai tersangka korupsi proyek Perusahaan Daerah Air Minum Makassar. KPK hanya menunjukkan fotokopi bukti itu.
Putusan Yuningtyas pun sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada akhir April lalu, yang memperluas wewenang praperadilan. Sementara sebelumnya obyek praperadilan hanya mencakup penggeledahan, penyitaan, dan penahanan, kini juga meliputi penetapan tersangka. MK juga memperjelas frasa "bukti permulaan yang cukup" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dasar penetapan tersangka itu, menurut putusan MK, harus mengandung minimal dua alat bukti.
KPK sebaiknya menyesuaikan dengan putusan MK itu agar tidak mengalami kekalahan lagi di kemudian hari. Diperkirakan akan semakin banyak tersangka korupsi yang akan menggugat setelah MK memperluas obyek sengketa praperadilan. Strategi KPK, yang hanya menunjukkan fotokopi alat bukti atau hanya membeberkan sebagian alat bukti dengan pertimbangan menyangkut rahasia penyidikan, perlu diubah.
Adapun upaya KPK akan menempuh kasasi terhadap putusan praperadilan Ilham patut didukung. Di tingkat kasasi, lembaga ini bisa membeberkan secara lengkap bukti-bukti yang dijadikan dasar penetapan Ilham sebagai tersangka. Langkah ini penting untuk menjaga kredibilitas KPK sekaligus melihat semangat memerangi korupsi.
KPK sebetulnya bukan satu-satunya lembaga yang menanggung dampak buruk putusan MK. Semua lembaga penegak hukum, termasuk kejaksaan dan kepolisian, juga harus siap-siap menghadapi gugatan praperadilan oleh para tersangka. Dampak putusan MK itu amat besar karena bukan cuma tersangka korupsi yang bisa menggugat, melainkan semua tersangka, termasuk tersangka kasus narkotik.
Putusan MK mengenai obyek praperadilan juga akan membuat proses pengadilan menjadi bertele-tele. Peluang untuk menyalahgunakan gugatan praperadilan juga amat besar karena sidangnya dipimpin oleh hakim tunggal. MK telah menjelma menjadi pembuat norma baru atau undang-undang karena soal penetapan tersangka sebelumnya sama sekali tidak masuk obyek praperadilan dalam KUHAP. Lembaga ini tak sekadar menguji undang-undang terhadap konstitusi.
Itulah yang mesti disadari oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan karena fungsi kedua lembaga ini dalam membuat undang-undang seolah-olah diserobot MK. Proses penegakan hukum bisa berlarut-larut gara-gara putusan MK itu. Kali ini KPK menjadi korban, dan kejaksaan serta kepolisian akan merasakan dampaknya.