TEMPO.CO, Jakarta - Ahmad Taufik, Mahasiswa program magister Hubungan Internasional Pasca Sarjana FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.
Konflik dalam negeri Yaman semakin ruwet setelah Arab Saudi dan negara-negara Liga Arab mulai menyerang. Konflik di Yaman sebenarnya sudah berlangsung sejak 2004, kala kelompok Al-Houthi menempati, menguasai, dan mengontrol 14 dari 15 kabupaten di kawasan pegunungan di Provinsi Saada, utara Yaman. Hanya Kota Saada yang belum dikuasai Al-Houthi.
Houthi diambil dari keluarga Al-Houthi, Badreddin al-Houthi, salah satu ulama besar Islam Syiah Zaidiyah. Hussein anak Badreddin, pemimpin kelompok itu, tewas dalam pertempuran dengan pemerintah Yaman pimpinan Ali Abdullah Saleh, yang pro-Arab Saudi. Hal itu terjadi karena Raja Arab Saudi, Abdullah (alm.), khawatir Syiah di Yaman ikut mempengaruhi Syiah di Arab Saudi.
Melihat Al-Houthi bertambah kuat di bawah kepemimpinan Abdul Malik, putra Hussein al-Houthi, Ali Abdullah Saleh, kabur ke Arab Saudi. Namun perang besar terhadap Houthi baru dikobarkan setelah Raja Arab Saudi Salman naik takhta, seraya mempelopori negara-negara Teluk dan Amerika Serikat yang punya kepentingan mengamankan Teluk Aden, jalan masuk ke Arab Saudi dan Mesir.
Konflik di Yaman berimbas ke Indonesia, karena Yaman—dengan kompleks pendidikan tradisional, seperti pesantren di Indonesia—merupakan salah satu destinasi ribuan pelajar kita. Di Hadhramaut, misalnya, mereka belajar langsung dari guru (habib). Habib yang paling terkenal dan sering berkunjung ke Indonesia adalah Habib Umar bin Hafidz bin Syaikh Abubakar, guru almarhum Habib Munzir Al Musawwa, pemimpin Majelis Rasulullah, Jakarta.
Dari Hadhramaut itulah para pengikut tarekat 'Alawiyah—yang dimotori oleh kaum haba'ib (tunggal: habib)—berdiaspora hingga ke Nusantara. Hampir merupakan suatu kesepakatan di kalangan pengamat bahwa warna Islam (seperti yang dianut Nahdlatul Ulama/NU) yang bersifat "tradisional" merupakan warisan dari tarekat 'Alawiyah. Bahkan, menurut salah satu versi, delapan dari sembilan Wali Songo melacak silsilahnya kepada Azhamat Khan, seorang tokoh dari lingkungan 'Alawiyin yang berakar di Hadhramaut.
Tarekat 'Alawiyah mempromosikan jalan akhlak, cinta, damai, bersifat apolitis, serta cenderung pada penyucian hati lewat pembinaan akhlak dan ritual. Dakwah tarekat 'Alawiyah juga bersikap toleran dan inklusif, tak membeda-bedakan audiens dari segi status sosial atau keagamaan.
Pertanyaannya: apakah pesantren-pesantren di Hadhramaut yang dipenuhi para pelajar Indonesia menjadi sasaran serangan? Kecuali pesantren yang mengajarkan paham Wahabi yang berafiliasi ke Al-Qaidah dan Ikhwanul Muslimin, Houthi—menganut Islam Syiah Zaidiyah—tak mungkin akan menyerang pesantren di Hadhramaut. Mereka dipimpin para habaib, keturunan yang diagungkan mazhab itu.
Konflik di Yaman juga bisa berimbas jika sentimen sektarian Sunni-Syiah ditiupkan. Ada ratusan orang Indonesia ikut dalam kancah peperangan (sebagai kelompok pendukung, bukan kombatan) Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Kita tak mau Indonesia terimbas konflik itu, walaupun banyak keturunan Yaman (Hadhramaut) tinggal dan menetap di negeri ini. Yaman atau Hadhramaut bukanlah negeri WNI keturunan Arab itu, karena di sinilah mereka mereguk air dan menginjak tanah, sebagai tanah air, Indonesia.