Lutfi Anggara, Diplomat; Bertugas di Nigeria
Hari-hari ini Indonesia menjadi tuan rumah Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA). Nilai penting dari peringatan penyelenggaraan KAA pada 1955 memang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Pada akhir konferensi, disepakati apa yang dikenal sebagai Dasasila Bandung, yang dipandang telah membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya solidaritas dan kerja sama ekonomi dan pembangunan di antara negara-negara yang kerap disebut Dunia Ketiga.
Sebagai imbas dari gerakan dekolonisasi yang melanda dunia pasca-KAA 1955, sekitar 80 negara memperoleh kemerdekaannya. Selain itu, Dasasila Bandung banyak dinilai sebagai cikal-bakal munculnya Gerakan Non-Blok pada 1961 dan Kerja Sama Ekonomi Selatan-Selatan pada 1970-an.
KAA 1955 dilangsungkan pada saat suasana politik internasional diliputi ketegangan. Perang Dingin antara Blok Barat, yang dimotori oleh Amerika Serikat, dan Blok Timur, yang dimotori oleh Uni Soviet, sedang memuncak.
Berbagai hal itu semakin menambah keistimewaan atas capaian generasi pertama pemimpin Indonesia dalam mengemban salah satu amanat kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu menghapus penjajahan dan mengupayakan perdamaian dunia.
Bayangkan, sebuah negara yang belum genap berumur 10 tahun dan memiliki banyak kekurangan di sana-sini mampu menjalankan peran vital guna menampilkan kepentingan Dunia Ketiga menjadi pusat perhatian internasional.
Apa yang menjadi sumber inspirasi bagi Sukarno, Hatta, dan kawan-kawan? Dari mana datangnya kepercayaan diri dan keberanian mereka? Mungkin sebagian jawabannya dapat kita temukan dengan menilik pidato Bung Karno pada saat membuka KAA 1955 yang berjudul “Let a New Asia and a New Africa be Born”.
Dalam pidatonya, Bung Karno merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merebut sendiri kemerdekaannya dari kaum penjajah; bukan bangsa yang bersedia menunggu sampai kemerdekaan dianugerahkan kepadanya.
Pengalaman sebagai bangsa terjajah yang bangkit memperjuangkan kemerdekaannya itulah yang tampaknya telah memunculkan semacam kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk bahu-membahu dengan bangsa-bangsa lain di dunia guna memperjuangkan nasib mereka yang masih terjajah dan berkontribusi bagi upaya mewujudkan dunia yang lebih baik bagi semua.
Dikaitkan dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia saat ini, apakah penyelenggaraan KAA tahun 1955 mencerminkan diplomasi yang membumi? Jawabannya relatif.
Jawabannya “tidak” jika KAA 1955 dipandang tak sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi Indonesia saat itu, di mana periode setelah Proklamasi 1945 hingga akhir 1960-an sering dinamai sebagai the lost decades of Indonesian economy. KAA 1955 bukanlah diplomasi yang membumi karena pelaksanaannya tidak berpotensi untuk secara instan menghasilkan manfaat riil yang dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Jawabannya “ya” jika KAA 1955 dipandang mencerminkan nilai-nilai luhur yang berakar pada jatuh-bangunnya bangsa Indonesia dalam menjalani hidup bernegara. KAA 1955 adalah suatu contoh diplomasi yang membumi karena pelaksanaannya konsisten dengan nilai-nilai yang diyakini dan diperjuangkan bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian.
Penerapan jargon diplomasi membumi itu sendiri tampaknya memang perlu memperhatikan paling tidak dua kekhawatiran.
Pertama, jargon tersebut berpotensi mengesankan adanya pendekatan diplomasi yang, di satu sisi, mengawang-awang dan elitis, sementara di sisi lain, ada diplomasi yang membumi dan merakyat. Kedua, jargon tersebut dapat menjebak bangsa Indonesia ke dalam paradigma bahwa sukses-gagalnya diplomasi mesti dilihat dari berhasil-tidaknya dia dalam meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Salah satu prinsip dasar politik luar negeri menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri sejatinya merupakan perpanjangan dari upaya mencapai kepentingan nasional suatu bangsa. Dengan sendirinya, suatu kebijakan luar negeri tidak akan langgeng jika yang diperjuangkan bukanlah kepentingan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan nasional.
Perlu diingat pula bahwa bangsa Indonesia hidup di tengah-tengah masyarakat dunia yang juga memperjuangkan kepentingan nasional mereka masing-masing. Dampaknya, bisa jadi kepentingan nasional yang diidam-idamkan baru dapat terpenuhi setelah melalui proses diplomasi yang berjangka panjang.
Dengan demikian, sepertinya akan lebih baik jika fokus bahasan mengenai diplomasi membumi diarahkan kepada upaya untuk memperbaiki proses menggali dan mengelola aspirasi masyarakat luas yang terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia, baik yang merupakan bagian dari tanggung jawab lembaga legislatif maupun eksekutif.
Di sisi lain, masyarakat pun perlu meningkatkan dan ditingkatkan, baik atensi maupun pemahamannya, atas isu kebijakan luar negeri, sehingga niat membumikan kebijakan luar negeri yang dimaksudkan benar-benar dapat terlaksana. *