Agus Dermawan T., Pengamat Budaya Dan Seni
Rakyat Indonesia merasa senang dengan kemurahan hati Kota Den Haag, yang pada 14 April lalu menghadiahi Munir dengan nama jalan: Munirpad. Munir Said Thalib adalah pejuang HAM yang meninggal dunia pada usia 39 tahun lantaran diracuni begundal politik pada 7 September 2004. Penghormatan itu semakin terasa setelah kita melihat bahwa nama Munir berkibar di kompleks hunian yang jalannya dihiasi nama pejuang HAM dunia, seperti Nelson Mandela, Teresa, dan Martin Luther King.
Penghormatan atas Munir ini dirasakan sebagai kompensasi untuk kekecewaan banyak orang atas apresiasi negara Indonesia terhadap tokoh-tokoh penegakan HAM-nya sendiri. Karena, kita tahu, sampai Indonesia memiliki presiden ketujuh, tak ada nama jalan yang hasratnya menjunjung nama-nama pejuang di bidang itu, yang pengorbanannya dibasahi air mata, keringat, dan darah.
Negara pastilah tahu, betapa hati kecil masyarakat menginginkan adanya nama jalan (atau nama ruang publik seperti taman dan plaza) yang mengabadikan manusia-manusia yang pernah menggetarkan jantung HAM Indonesia Raya. Seperti Yap Thiam Hien (lahir pada 1913) misalnya, ahli hukum berjulukan "si kerbau" lantaran tidak memiliki rasa takut demi keadilan dan kebenaran. Pun ketika yang dilawan adalah para jenderal kepolisian Orde Baru.
Atau Haji Johannes Cornelius Princen (1925), yang lantaran berani berteriak di atas kebenaran, harus berkali-kali menghadapi hukuman. Demi membela hak-hak orang Indonesia, ia rela dipenjara di Sukabumi oleh Militaire Krijgsraad te Velde (Mahkamah Militer Perang Belanda). Ketika sejak 1966 duduk sebagai Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia, ia pun menjadi makhluk yang paling dibenci oleh para penindas yang berpayung lembaga hukum dan keamanan negara. Perjuangannya mirip Multatuli alias Douwes Dekker (1820). Pengarang Max Havelaar yang mati-matian membela hak-hak hukum rakyat Indonesia, namun namanya dilupakan, pun oleh sebuah gang buntu di sekujur kota.
Atau tentu saja Hoegeng Iman Santoso (1921). Jenderal kepolisian personel The Hawaiian Seniors ini selalu mengatakan bahwa Indonesia memerlukan "orang-orang idealis gila" (mungkin seperti Gubernur Basuki Tjahaja Purnama) untuk mengubah birokrasi Indonesia yang korup dan semena-mena. Tindakannya selalu diberangkatkan dari semangat penegakan hak asasi manusia.
Pemberian nama jalan tentulah berangkat dari pemikiran yang berkonteks dengan zaman. Dulu, Presiden Sukarno memberi nama jalan di Ibu Kota (sebagai patron kota lain di Indonesia) dengan landasan visi yang berkonteks dengan rasa nasionalisme, sehingga lantas muncul jalan bernama pahlawan daerah, tanaman dan bunga, sampai pulau-pulau di Nusantara.
Kini zaman jauh beralih, dan konteks itu juga otomatis berubah. Ketika hukum dan HAM di Indonesia tak henti dirundung sakit parah, kemunculan nama jalan pejuang HAM terasa menemukan nilai penting.
Kita yakin bahwa negara sangat paham, betapa penjunjungan nama-nama itu adalah bagian dari penanaman ingatan ihwal orang-orang besar yang patut diteladani, sehingga kelindan pikiran masyarakat di ruang publik tidak hanya direcoki cerita nyata hakim yang disogok sampai aparat yang dibayar pengusaha untuk menyakiti si jelata. Aneh, sementara Den Haag manis mencontohkan, Negara Indonesia merasa malah malu melakukan.*