Bandung Mawardi, ESAIS
Soeharto dan Tien Soeharto memiliki cita-cita setinggi langit, bahkan ingin melampaui cita-cita Sukarno. Cita-cita tersebut pernah menghebohkan jutaan orang, yaitu membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pengakuan Soeharto (1989): “…cita-cita untuk membangun suatu pusat kebudayaan peninggalan nenek moyang kita yang akhirnya nanti bisa berfungsi sebagai tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan juga tempat mengembangkan kebudayaan.”
Pelaksana utama cita-cita tersebut adalah Tien Soeharto. Rapat dan pengumpulan dana dilakukan Tien Soeharto dengan bekal kekuasaan. Kita bisa melihat lagi foto dokumentasi dalam buku 50 Tahun Indonesia Merdeka (1995). Pada halaman 183, disajikan foto Tien Soeharto saat memimpin rapat pembangunan TMII. Beliau tampak anggun dan berkuasa.
Peresmian TMII dilakukan pada 20 April 1975, berbarengan dengan peringatan Hari Kartini. Tokoh utamanya adalah Tien Soeharto. Upacara bersejarah bernuansa perempuan. Tamu dari negeri tetangga adalah Ibu Negara Filipina Imelda Marcos dan Ibu Negara Singapura S.G. Sheares. TMII merupakan pembuktian cita-cita berdalih representasi Indonesia sebagai negeri bhineka tunggal ika. Saat peresmian lahan seluas ratusan hektare berisi miniatur 26 provinsi itu, Timor-Timur belum terintegrasi dengan Indonesia. Peran Tien Soeharto menjadi bukti keampuhan perempuan dalam menggerakkan kekuasaan dan imajinasi Indonesia. Mungkin Tien Soeharto ingin tampil sebagai “penerus” Kartini, tapi di jalur kekuasaan, bukan mengandalkan kerja literasi.
Pemenuhan cita-cita itu mendapat perlawanan sengit dari Mochtar Lubis, yang disajikan dalam seri editorial Indonesia Raja. Kritik pedas juga disampaikan Arief Budiman. Dulu, cita-cita itu bernama Miniatur Indonesia Indah. Nama tersebut berganti menjadi TMII saat peresmian. Cita-cita bernalar kekuasaan ini dilawan oleh Arief Budiman dan para mahasiswa. Arief Budiman, pada 30 Desember 1971, menulis, “Yang djelas, kami merasa, sebagai pemuda jang bertanggung djawab bagi hari depan bangsa ini, kami harus melakukan kritik projek Miniatur Indonesia Indah, jang menurut kami benar-benar merupakan suatu kesalahan bila pelaksanaannja mau dipaksakan sekarang djuga.”
Kritik itu tak mempan. Cita-cita tersebut telanjur diwujudkan. Sepuluh tahun berlalu, Soeharto memberi sindiran: “… setelah TMII jadi, pengkritik-pengkritik itu akhirnya mengakui manfaatnya.” Penjelasan itu politis! Soeharto juga berdalih keberadaan TMII merupakan bukti “sumbangan bagi perkembangan dan pertumbuhan bangsa yang sedang membangun masyarakat Pancasila.”
Pengukuhan terhadap TMII semakin dibuktikan melalui penerbitan buku serial. Pada 1989, pemerintah menerbitkan buku berjudul Sejarah Taman Mini Indonesia Indah. Buku ini dikerjakan tim beranggotakan lima orang dan terdiri atas 518 halaman. Pada halaman awal, terdapat foto Soeharto dan Tien Soeharto selaku penggagas dan pelaksana pembangunan TMII.
Warisan itu diberikan kepada kita, meski rezim Orde Baru sudah berakhir. Kita agak ragu jika mau mengadakan hari peringatan. Sekarang, keraguan semakin bertambah saat hari bersejarah TMII berbarengan peringatan Hari Kartini dan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika. TMII sudah berusia 40 tahun. Barang kali jutaan orang sudah lupa atau sengaja enggan mengenang? Warisan kontroversial berdalih kekuasaan memang sering mengandung ironi dan keterpecahan ingatan sejarah. Lho! *