Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melakukan tindakan tepat dengan membawa kasus dugaan penipuan penerbitan ijazah bodong ke ranah pidana. Diharapkan, kepolisian segera membantu penyelidikan secara profesional. Target pengusutan hendaknya bukan hanya lembaga dan perguruan tinggi yang obral tanda lulus, tapi juga mereka yang membeli gelar abal-abal itu.
Semestinya tak sulit bagi polisi mengetahui siapa saja yang membayar untuk memperoleh titel sarjana, master, atau bahkan doktor. Kampus dan lembaga penjajanya biasa memajang daftar alumnus di situs resmi atau halaman promosinya. Mereka yang memperoleh gelar tanpa proses akademis yang proper itu pun biasanya dengan bangga memajang embel-embel status "keilmuan" itu di depan namanya. Banyak di antara mereka sekarang menjabat berbagai posisi di pemerintahan, kepolisian, perusahaan, atau menjadi wakil rakyat, kepala daerah, bahkan pemimpin perguruan tinggi.
Maraknya jual-beli ijazah pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya mengungkapkan dua masalah. Pertama, buruknya sistem dan pengawasan di sektor pendidikan. Yang kedua, banyak orang keblinger dalam memaknai tanda bukti kelulusan akademis itu. Padahal, gelar abal-abal jelas merendahkan martabat, sekaligus bertentangan dengan esensi pendidikan yang mengharuskan penghormatan tertinggi terhadap kejujuran.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang dipimpin Menteri Mohamad Nasir wajib mengevaluasi sistem pengawasan terbitnya gelar ini. Tindakan hukum patut dilakukan terhadap, misalnya, lembaga pendidikan yang tak jelas izin dan standar kualitasnya, tapi celakanya mengklaim telah meluluskan 180 doktor sejak 2010. Tak ada alasan membiarkan promosi yang begitu gamblang dari lembaga yang mengiming-imingi calon konsumennya gelar kesarjanaan sampai doktoral cukup "ditebus" dengan Rp 35-57 juta.
Patut disesalkan, selama ini praktek lancung itu seakan dibiarkan atau setidaknya "lolos" dari pengawasan Kementerian Pendidikan Tinggi. Bukan tak mungkin ada manipulasi yang sengaja dipelihara di sini demi imbalan rupiah. Mereka yang terbukti terlibat atau menyelewengkan tanggung jawabnya harus dijatuhi sanksi.
Pandangan keblinger terhadap gelar akademis juga mesti diluruskan, termasuk dalam sistem ketenagakerjaan kita. Perlu koreksi mendasar, terutama dalam pengaturan jenjang kepegawaian di lembaga-lembaga negara. Seleksi kepangkatan pegawai hendaknya mulai menimbang faktor kompetensi, bukan didasari gelar akademis semata. Yang paling penting, sistem administrasi pemerintahan dan lembaga negara tak boleh abai mengecek gelar pegawainya.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus ikut membereskan masalah ini. Kementerian mesti mengecek ulang semua gelar yang disandang pegawai pemerintahan dan lembaga negara. Asal-muasal lembaga pemberi gelar itu mesti jelas dan tidak fiktif. Tindakan tegas, termasuk mempidanakan yang bersalah, seharusnya sanggup menyurutkan nafsu memburu gelar obralan ini.