Kabar buruk kembali menimpa perusahaan di bawah badan usaha milik negara. Kali ini bukan soal kinerja yang terpuruk, melainkan ihwal proyek sawah fiktif yang sumber biayanya berasal dari program bantuan sosial perusahaan itu. Kepolisian yang menerima laporan perkara ini mesti cergas bertindak: menyeret mereka yang terlibat ke meja hijau dan mengembalikan dana yang tersisa ke kas negara.
Proyek mencetak sawah bermula dari niat mulia BUMN membantu program swasembada pangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan tersebut adalah BNI, BRI, PT Askes, PT Pertamina, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Hutama Karya, dan PT Perusahaan Gas Negara. Mereka patungan menghimpun duit bantuan sosial sebagai dana corporate social responsibility (CSR).
Selama kurun 2012-2014, terkumpullah dana sebesar Rp 317 miliar dari perusahaan pelat merah tersebut. Dana ini untuk membuka 100 ribu hektare sawah baru di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Daerah tersebut dipilih karena diasumsikan lahan seluas itu gampang diperoleh di sana. Kenyataannya, tidak seperti itu. Pencetakan sawah tak pernah ada.
Adalah PT Sang Hyang Seri yang dipercaya menjalankan proyek ini. Perusahaan BUMN bidang pangan itu merangkul penduduk yang memiliki lahan tidur. Mereka diikat dalam sebuah kerja sama. Tanpa bekerja, pemilik lahan dijanjikan mendapat bagian 40 persen keuntungan setiap kali panen. Sedangkan 60 persen sisanya bagian perusahaan.
Ternyata mendapatkan 100 ribu hektare lahan tidaklah mudah. Hingga 2014, yang diperoleh hanya sekitar 40 ribu hektare lahan. Itu pun tidak semuanya cocok untuk ditanami padi. Lahan yang benar-benar bisa ditanami padi hanya 7.000 hektare. Dari jumlah itu, yang siap diolah tak lebih dari 5.000 hektare.
Ketidakberesan PT Sang Hyang Seri bukan hanya itu. Pengadaan sawah, belakangan, diketahui diserahkan kepada pihak ketiga, yakni PT Hutama Karya, PT Indra Karya, PT Brantas Abipraya, dan PT Yodya Karya. Disebut-sebut "alih tugas" ini tak lepas dari kebijakan Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan.
CSR adalah program wajib perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang 40 Tahun 2007. Bukan rahasia lagi, program CSR BUMN rawan penyimpangan. Selain program fiktif, titik kerawanan bisa bermacam-macam. Misalnya bantuan yang disalurkan kecil-selebihnya untuk kepentingan direksi atau pihak tertentu. Lalu, tata cara penyalurannya pun kerap dimanipulasi.
Keterangan Dahlan Iskan jelas sangat diperlukan dalam perkara ini. Kepolisian semestinya memeriksa penanggung jawab perusahaan BUMN yang menyalurkan dana CSR. Badan Pemeriksa Keuangan pun mesti mengaudit program CSR di semua perusahaan BUMN. BPK tidak perlu ragu memberi cap buruk, terutama bagi perseroan yang tak transparan dan akuntabilitasnya rendah dalam penyaluran dana sosialnya.
Jika dalam program ini terindikasi ada tindak pidana, BPK harus melaporkannya kepada aparat penegak hukum.