Purnawan Andra, staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud
Di antara drama politik, perhatian negeri ini sedikit teralihkan oleh rencana Presiden Jokowi, yang akan menggelar pernikahan putra pertamanya, Gibran Rakabuming, dengan Selvi Ananda Putri dalam waktu dekat. Si calon menantu Presiden adalah mantan Putri Solo 2009, yang gelarnya diberikan langsung oleh Jokowi (ketika itu menjabat Wali Kota Solo). Dalam berbagai foto profilnya yang muncul di media massa belakangan ini, Selvi, sebagai Putri Solo, tampak anggun, feminin, dan santun dengan kebaya.
Dalam buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005), disebutkan bahwa makna pakaian tidak kalah penting dengan identitas personal, keyakinan agama, hingga pandangan politik. Kebaya, sarung, dan peci, sebagai contoh, tidak bisa dianggap sebagai benda remeh-temeh, melainkan memiliki simbolisme yang sarat makna.
Menurut Taylor dalam buku tersebut, pada abad ke-19, kebaya menjadi kostum bagi semua kelas sosial, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan, ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari. Kaum perempuan Belanda kerap terlihat sedang bersantai di beranda hotel di Batavia dengan mengenakan pakaian sarung dan kebaya, semacam baju dari kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran, sementara kebaya malam terbuat dari sutra hitam.
Locher-Scholten (2000: 126) juga menyatakan bahwa pada 1896,. J.M.J. Catenius-van der Meijden, seorang perempuan Belanda yang lahir di Hindia-Belanda, pernah menulis saran untuk para istri Belanda agar memiliki 6 sarung tidur, 2-3 sarung rapi, 6 kebaya tidur, dan 6 kebaya rapi untuk tinggal di Hindia-Belanda.
Kebaya tidak sekadar bagian dari peranti tubuh, tapi juga menjadi elemen kelas sosial. Seorang perempuan pribumi yang mengenakan kebaya putih berenda mirip seorang noni Belanda kemudian menjadi penunjuk derajat sosial sebagai seorang nyai. Penanda identitas ini tampak jelas dan banyak muncul sebagai lambang status perempuan dalam kebudayaan Indies.
Kini kebaya identik dengan kesan tradisional: tua dan menjadi bagian dari eksotisme masa lalu belaka. Ia kerap dikenakan oleh mbok-mbok di pasar tradisional, para penjual jamu, ataupun ibu-ibu usia lanjut di desa. Dalam konteks kekinian, kebaya hanya hadir di ruang publik dalam momen-momen tertentu, seperti Hari Kartini, resepsi pernikahan, ataupun acara lain yang bersifat kedaerahan. Kebaya terdegradasi dari pemahaman sejarah dan catatan peradaban yang tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Ia menyimpan historisitas logika makna yang bisa menjadi refleksi kemanusiaan.
Potret Selvi kerap disebut media sebagai seorang Cinderella dari Pasar Kliwon yang menemukan kebahagiaan dengan pangeran dari istana (Negara). Namun, sebagai seorang Putri Solo, ia tampil bukan dengan gaun lebar berenda dan bersulam emas berlian, melainkan dengan kebaya dan jarit, paduan tradisi yang menyimpan beragam nilai bermakna. Kebaya menjadi bagian dari kesadaran konstruksi diri bahwa ajining raga ana ing busana, penampilan mencerminkan kepribadian. Bahwa pakaian bukan sekadar fashion yang terkomodifikasi, atau politik pencitraan yang hanya membuat indah tampilan, tapi ternyata busuk dalam pikiran, hati, dan moralitas di dalamnya. *