Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail
Jika kita jalan-jalan ke sebuah kota, kita kerap menemukan jargon kota di spanduk atau di papan iklan. Misalnya, “Beriman” (bersih, indah, nyaman).
Apa makna jargon-jargon itu, ketika ternyata kota itu kotor, semrawut, dan karena itu menjadi tak nyaman. Itu hanya contoh. Tapi bukan itu saja persoalannya. Bukan cuma soal tidak sesuainya jargon dengan fakta di lapangan.
Persoalan paling krusial adalah identitas alias “kelamin” sebuah kota. Saya ingin memulai diskursus ini dengan pertanyaan berikut. Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar Kota Yogyakarta, Pekalongan, Bandung, Aceh? Lalu, apa yang ada dalam pikiran kita ketika mendengar nama Tangerang Selatan, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, dan kota-kota lain di Jabotabek?
Sebuah kota dibentuk oleh sejumlah unsur, antara lain manusia dan kebudayaannya. Mulanya manusia, secara sendiri-sendiri atau berkelompok, mendiami sebuah tempat, lalu menjadi komunitas. Mereka kemudian meleburkan sistem nilai masing-masing dan membentuk sebuah sistem nilai baru.
Nilai-nilai itu mereka aplikasikan lewat laku dan interaksi sosial, bangunan, gedung, rumah, jalan, kebiasaan, kesenian, hingga tata (aturan) pergaulan. Maka terbentuklah kebudayaan. Ini adalah sistem, yang menurut Clifford Geertz, tentang konsepsi-konsepsi berwujud simbol, “yang dengan cara ini manusia berkomunikasi, melestarikan, serta mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.”
Proses tumbuhnya kebudayaan, di desa maupun di kota, sama saja, yakni adanya sebuah aktivitas dan arus masyarakat. Bedanya ada pada tafsir dan cara padang. Orang desa lebih cenderung memandang “sesuatu” dalam konteks kebutuhan. Seseorang membeli sesuatu karena fungsinya, bukan karena citra yang melekat pada sesuatu tersebut.
Pakaian, misalnya, bagi orang desa untuk menutup tubuh. Namun, bagi orang kota, pakaian juga alat kebutuhan sosial. Karena itu, mahalnya pakaian seseorang merupakan perwujudan kedudukan sosial si pemakai (Soerjono Soekanto, 2012: 139).
Kini batas antara desa dan kota menjadi begitu tipis dan makin sulit dibedakan. Sama halnya ketika kita menjadi kesulitan untuk merumuskan apakah yang disebut kota dan apa yang disebut desa. Sebab, dalam kerangka kebudayaan, kota tidak cuma dalam arti fisik, seperti adanya mal, ruko, pusat belanja, dan seterusnya. Tapi juga cara berpikir dan berperilaku sosial. Hal itu menjadi citra sebuah kota, namun bukan identitas.
Adapun identitas sebuah kota terbentuk oleh kondisi, karakter, dan keunggulan kompetitif yang dimiliki kota tersebut. Keunggulan kompetitif adalah sesuatu yang berbeda dengan kota-kota lain. Unik. Khas. Istimewa. Pekalongan, misalnya, keunggulan kompetitifnya adalah batik, maka Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik. Aceh, mempunyai keunggulan kompetitif di bidang agama (Islam). Islam masuk pertama di sana, maka melekat namanya sebagai Kota Serambi Mekah.
Nah, apa keunggulan kompetitif kota Anda, termasuk kota-kota di Jabodetabek ini? Inilah yang perlu digali dan dirumuskan. Setiap kota pasti punya keistimewaan. Jangan sampai kota tak punya kelamin atau identitas.
Jadi, identitas kota bukanlah jargon-jargon yang tertulis besar-besar di spanduk atau billboard di berbagai sudut kota tersebut. Itu hanya citra, alias pepesan! *