TEMPO.CO, Jakarta - Paring Waluyo Utomo, penulis
Pemilihan Presiden Juli 2014 lalu menjadi etos baru bagi rakyat untuk menentukan calon pemimpinnya. Bagi saya dan sebagian pemilih Jokowi, yang untuk pertama kalinya memilih dalam pemilihan, karena sebelumnya golongan putih, ada motif yang menggerakkan kami. Salah satu motif itu adalah janji kampanye Jokowi yang bertitel Nawacita.
Bersama dengan berbagai organisasi masyarakat, kami melakukan telaah atas dokumen Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, yang kami harapkan adalah haluan pembangunan Kabinet Kerja. Kami mengharapkan Nawacita menjadi core di dalamnya.
Tersentak hati saya saat menemukan agenda pengurangan kesenjangan sosial, yang umum diukur dengan gini ratio, berubah angkanya. Semula di Nawacita angkanya 0,30, tetapi tertuang di RPJMN menjadi 0,36. Dalam kajian kami, muara dari segala agenda di Nawacita sejatinya pengurangan kesenjangan sosial, sehingga gini ratio 0,30 adalah "angka keramat", ikatan kami memilih Jokowi dan Jusuf Kalla. Dengan kata lain, 0,30 adalah redistribution for justice.
Merasa mendapati kenyataan pengingkaran sejak dari perencanaan pembangunan, kami mendiskusikan ini dengan Bappenas. Kami mendapati Ketua Tim Perumus RPJMN 2015–2019 menyatakan mustahil merealisasi gini ratio 0,30. Untuk mencapai angka ini, kita harus seperti era 1950-an, jawabnya. Pernyataan itu dikuatkan lagi oleh pernyataan Menteri Bappenas dalam majalah Tempo, edisi 6–11 April 2015.
Baca juga:
Sejatinya tidak hanya gini ratio yang kami temukan di RPJMN bertentangan dengan Nawacita, bahkan sebagian besar agenda Nawacita malah tidak tertuang dalam RPJMN. Contoh lain, agenda Nawacita tentang penurunan angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran sampai 2019 turun menjadi 102. Angka ini sejatinya target Millenium Development Goals (MDGs) yang berakhir tahun ini. Tapi di RPJMN penurunan angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran hanya dipasang 306, jauh dari target MDG's dan Nawacita.
Mengapa penurunan gini ratio dari posisi sekarang 0,413 menjadi 0,30 itu begitu penting? Pertama, angka itu telah terucap dalam janji kampanye. Meminjam istilah Megawati Soekarnoputri, janji kampanye adalah ikatan suci dengan rakyat. Dan pemerintah terpilih diberikan kekuasaan dan sumber daya apa pun untuk dapat merealisasinya. Janji adalah utang, yang dalam keyakinan agama saya, harus dilunasi.
Sekadar pembanding, berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 1999, gini ratio kita 0,30, membaik dari 1996 yang sebesar 0,35. Angka ini naik kembali ke 0,320 pada 2005 sampai sekarang 0,413. Sudahlah, teknokratisme pembangunan ala Bappenas bertahun-tahun kerap menunjukkan kegagalannya. Untuk itu, jangan diulangi terus metode itu. Maka metode baru diperlukan. Gerakan sosial perlu dipikirkan sebagai bagian dari metode baru dalam pembangunan.
Kedua, meskipun ruang kebebasan masih terbuka, arah politik dan ekonomi kita makin membahayakan. Alih-alih demokrasi memberi kesejahteraan ekonomi, demokrasi malah dipinjam untuk mengkonsentrasikan kekayaaan kepada sedikit orang. Dengan kekayaannya, mereka bisa mendirikan partai, media massa, ormas, dan dengan halus "mengambil" demokrasi.
Menurut data yang kami olah dari berbagai sumber (BPS dan beberapa kementerian), 4.600 usaha besar (0,01 persen dari jumlah usaha di seluruh Indonesia) berkontribusi terhadap 45 persen pertumbuhan ekonomi nasional, dan hanya menyerap 2,7 persen angkatan kerja kita. Sementara itu, di lapisan bawah, terdapat 55,2 juta usaha mikro yang menyumbang pertumbuhan ekonomi 33 persen, dan menyerap tenaga kerja hingga 91 persen.
Sebanyak 0,2 persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset nasional, sebanyak 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani di luar Jawa tidak memiliki tanah. Dari 28,55 juta penduduk miskin, 62,8 persen adalah petani. Padahal sektor ini menyumbang hampir 40 juta tenaga kerja, dan hanya tumbuh 2–3,9 persen selama 10 tahun terakhir.
Ketiga, ketimpangan terjadi tidak hanya ada pada pendapatan antar-penduduk, tapi juga ekonomi antarwilayah di Indonesia. Hal ini terlihat konsentrasi dari dana pihak ketiga (DPK) di bank. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (Maret 2015), DPK di Jakarta Rp 2.118 triliun, dan DPK di Jawa Rp 2.946 triliun. Bandingkan dengan DPK di Papua Barat yang sebesar Rp 11,9 triliun (0,29 persen DPK nasional), Maluku Utara Rp 5,4 triliun (0,1 persen DPK nasional), Gorontalo Rp 3,6 triliun (0,09 persen DPK nasional), dan Sulawesi Barat Rp 3,4 triliun (0,08 persen DPK nasional).
Merefleksikan hal ini, menurut saya, penting bagi Presiden untuk mengoreksi kembali dokumen RPJMN, yang dituangkan dalam Perpres Nomor 2 Tahun 2015. Cek kembali Nawacita yang tidak tertuang dalam RPJMN 2015–2019. Revisi poin paling sentral menurut kami, yakni angka keramat itu, agar kami tetap percaya kepada Anda.