Sebaiknya Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak mudah mengumbar pernyataan, terutama yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan Kalla justru tak produktif dan terkesan tidak pro-pemberantasan korupsi.
Pernyataan Kalla yang terakhir adalah tentang permaklumannya terhadap keengganan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Kalla, harta Budi tak seberapa, sehingga tidak terlalu bermasalah jika ia tak melapor ke KPK.
Melalui pernyataannya itu, Kalla seolah-olah membenarkan ketidakpatuhan Budi Waseso terhadap undang-undang. Pada Pasal 5 Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disebutkan bahwa penyelenggara negara wajib melaporkan harta kekayaannya. Jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri jelas tergolong penyelenggara negara yang terkena kewajiban melapor.
Memang tidak ada sanksi hukum bagi pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya, tapi ia bisa mendapat sanksi administratif dari atasannya. Yang lebih penting, keengganan itu menunjukkan arogansi pejabat negara, dan celakanya Wakil Presiden Jusuf Kalla malah mendukungnya.
Bukan sekali ini saja Kalla terkesan tidak mendukung kebijakan antikorupsi. Maret lalu, Kalla juga menyatakan dukungannya terhadap pemberian remisi kepada terpidana korupsi dengan alasan "remisi adalah bagian dari hukuman itu sendiri".
Kalla semestinya tahu bahwa, meskipun remisi menjadi hak para terpidana, pemberian keringanan hukuman kepada koruptor akan melukai rasa keadilan masyarakat. Rakyat akan selalu mengingat bagaimana para pencuri kelas teri bisa dihukum lebih berat daripada koruptor.
Pemerintah Jokowi-JK sudah berkomitmen memberantas korupsi. Karena itulah, semua pejabat pemerintah wajib mendukung lembaga pemberantasan korupsi, seperti KPK, dan segala aturan yang menopang upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, Jusuf Kalla tidak boleh membuka celah bagi siapa pun untuk memperlemah aturan dan pelaksanaan pemberantasan korupsi. Kalla juga sudah sepatutnya memberi teladan bagi pejabat negara lain dengan mengeluarkan pernyataan yang tegas dalam pemberantasan korupsi.
Pernyataan Kalla acap kali kabur, bermakna ganda, atau malah terkesan mendukung para koruptor. Pernyataan seperti itu bisa menjadi bumerang bagi kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi.
Peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International tahun ini membaik, dari urutan ke-114 menjadi posisi ke-107. Tentu ini kabar baik dan menunjukkan bahwa langkah-langkah pemberantasan korupsi di negeri ini sudah berada di jalan yang benar.
Tapi perlu dicatat bahwa posisi kita masih jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Kita tentu berharap peringkat Indonesia terus naik di tahun-tahun mendatang. Pernyataan Kalla yang tidak pro-pemberantasan korupsi bisa saja membuat kita berjalan mundur.*