Kejaksaan semestinya terbuka atas penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka korupsi proyek gardu induk listrik. Jangan sampai muncul kesan bahwa mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara ini dijerat lebih karena alasan politis dan bukan demi memerangi korupsi.
Dahlan, yang juga pernah memimpin Kementerian Badan Usaha Milik Negara, belum tentu tidak bersalah. Tapi kejaksaan perlu menjelaskan secara gamblang kenapa figur yang kaya akan terobosan ini justru menjadi sasaran, dan kemudian benar-benar dijerat. Ia ikut dipersalahkan atas dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Unit Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun anggaran 2011-2013. Nilai total anggaran proyek ini sekitar Rp 1 triliun.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta membidik figur yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden itu dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Kedua pasal yang sering digunakan untuk menjerat pejabat ini sama-sama mewajibkan adanya dua unsur penting korupsi: menguntungkan diri sendiri dan orang lain, lalu merugikan negara. Perbedaannya, Pasal 2 menekankan unsur adanya "perbuatan melawan hukum", sedangkan Pasal 3 menonjolkan unsur "penyalahgunaan wewenang".
Unsur merugikan dengan mudah bisa dibuktikan karena sebagian proyek itu terbengkalai. Unsur memperkaya atau menguntungkan, setidaknya bagi orang lain, tidak akan sulit juga dipaparkan. Apalagi belasan bekas bawahan Dahlan telah ditetapkan sebagai tersangka. Masalahnya, apakah perbuatan Dahlan ketika masih berkuasa itu termasuk kategori melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang? Inilah yang perlu dilihat secara jernih.
Dahlan sendiri mengakui ia melakukan terobosan karena situasi yang mendesak, yakni terjadinya krisis listrik. Sebagai kuasa pengguna anggaran, ia sedikit mangabaikan aturan baku dalam proses pengadaan. Misalnya cara pembayaran yang tidak didasari kemajuan proyek, melainkan sesuai dengan pembelian barang. Kejaksaan juga mempersoalkan proses pembebasan lahan yang belum kelar, tapi proyek induk gardu itu telah dijalankan.
Hanya, semua sangkaan kejaksaan itu masih perlu ditelaah lebih dalam. Sesuai dengan aturan tertulis tentang proses pengadaan, mungkin mudah untuk menyatakan Dahlan menabrak aturan. Tapi penegak hukum semestinya tetap berusaha membuktikan bahwa ada niat jahat tersangka untuk menilap duit negara.
Itu sebabnya, pembuktikan adanya duit atau keuntungan langsung yang diperoleh tersangka dari proyek tersebut amat penting. Misalnya ada aliran duit atau suap ke Dahlan atau keluarganya. Langkah ini akan lebih meyakinkan publik bahwa kejaksaan benar-benar sedang menjerat figur yang korup sekaligus merugikan negara.
Tanpa pembuktikan yang telak, niscaya langkah kejaksaan akan terus dipertanyakan. Pemerintah Joko Widodo pun akan tetap diragukan komitmennya dalam memerangi korupsi lantaran penegak hukum tidak memprioritaskan membidik para pejabat yang benar-benar korup dan jahat.