Di lereng selatan Himalaya itu malam ketakutan - dan pangeran dari Dwarawati itu merasakan suasana itu begitu ia tiba. Di bawah bulan yang jadi kusam, bahkan ular ikut menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang menjorok melampaui tebing. Tak ada cerah yang tersisa, rasanya.
Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Bhoma memporakpandakan wilayah itu. Di tepi hutan, ladang-ladang telah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara pematang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah; dindingnya tak berbekas. Hari-hari murung. "Dan di pohon-pohon beringin, capung pun bertangis-tangisan sedih ditinggalkan oleh mereka yang mencintai keindahan."
Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif Jawa Kuno yang ditulis di abad ke-12. Diterjemahkan oleh A. Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini mengisahkan perang antara pasukan Kreshna dan balatentara Raja Bhoma yang menyerbu dan merusak pusat-pusat pertapaan di sekitar Dwarawati.
Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta perlindungan, Kreshna pun mengirimkan Samba, putra mahkota, ke wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip di atas adalah adegan ketika Samba dan pasukannya tiba.
Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bhoma itu memang dahsyat, dengan ribuan gajah, kuda, dan manusia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas, perut robek, jantung tercincang. Samba sempat terluka parah dalam sebuah pertempuran malam hari yang tak terduga; ia akhirnya gugur. Juga Arjuna, dengan kematian yang diikuti pekik bumi dan gemuruh laut yang berkabung.
Tak urung, Kreshna pun turun gelanggang. Berhadapan dengan Bhoma yang ganas dan tak terkalahkan, ia dengan serta merta mengubah diri jadi Wishnu dalam bentuk yang mengerikan, yang dalam Bhomantaka digambarkan dengan fantastis: "Monster dari tiga dunia bergantungan dari tiap helai rambutnya, menghitam bagaikan semut, menghunus berbagai senjata, di antara gelimang darah dan untaian usus manusia"
Di hadapan wujud yang luarbiasa itu, Bhoma pun kalah, tewas. Kisah telah mencapai dan melampaui klimaksnya.
Sampai akhir, deskripsi Bhomantaka tak tertandingi indahnya oleh kesusastraan Jawa setelah abad ke-18; Ranggawarsita hanya akan tampak gagap bila dibandingkan dengan penyair yang tak bernama yang hidup di masa Jawa Hindu itu.
Tapi bagi saya yang menarik adalah adegan-adegan terakhir cerita ini. Di dua bagian dikisahkan dengan khidmat bagaimana para dewa memberi Kreshna -- yang telah rela mengorbankan anaknya untuk melindungi para pertapa yang tak bersenjata -- sebuah anugerah.
Di canto 101-102, segera setelah Arjuna tewas, datanglah tawaran kepada Kreshna yang berduka cita: ia boleh memilih seseorang di antara yang tewas dalam perang itu untuk dihidupkan kembali. Pilihan itu harus segera diambil. Samba, putranya sendiri? Atau Raja Basudewa? Atau Arjuna?
Ternyata, tanpa bimbang, Raja Dwarawati ini tak memilih sanak saudaranya sendiri. Yang dimintanya kembali dari pelukan Maut adalah Raja Druma. Raja pendatang itu seorang yang tak punya apa-apa lagi. Ia terusir dari tahtanya, menghadap ke Kreshna untuk meminta perlindungan, tapi ia tewas bersama anaknya dalam peperangan di sekitar Gunung Rewata itu.
Di canto 111 kembali para dewa memberi Kreshna anugerah. Kali ini Kreshna minta lebih: agar semua dihidupkan kembali - termasuk musuh-musuhnya. Katanya:
Cedi, Karna, dan JarasandhaSemua jelas musuh hambaTapi kembalikanlah juga mereka dari kematianBersama keluarga mereka
Permintaan Kreshna dikabulkan. Dengan permintaan itu, ia sebenarnya mengingatkan: tiap perang, tiap perjuangan untuk pembebasan, mengandung pengakuan bahwa ada yang universal dalam hidup manusia yang tak dapat diabaikan.
Bhoma, "najis pada seantero bumi", kalngka ning rat, harus disingkirkan. Tapi bukan agar mampu meyakinkan secara universal tentang apa yang "najis" maka Kreshna menjelma jadi Wishnu. Ia jadi Wishnu, jadi subyek yang menakjubkan dan perkasa itu, justru karena Kebenaran tentang keangkara-murkaan Bhoma menggugah dan mengubah dirinya. Itulah saat "tiwikrama". Dalam arti itu Kebenaran yang dialami Kreshna adalah subyektif: ia jadi kukuh. Tapi juga universal: perang itu, kematian Bhoma itu, bukan buat dirinya sendiri, melainkan buat semua, juga musuh-musuhnya.
Sesuatu yang subyektif, namun juga universal -- itulah paradoks tiap perjuangan politik. Di awal perjuangan itu harus ada garis yang tegas dan kubu yang tertutup yang memisahkan kawan dengan lawan. Tapi mungkinkah ketertutupan itu hakiki? Dalam saat "tiwikrama", ketika Kebenaran menggugahku, dan aku jadi perkasa, perjuanganku mendapatkan maknanya. Tapi pada saat yang sama, sifat universal dari Kebenaran itulah yang membuat makna itu begitu penting.
Tak berarti yang universal sudah ada rumusnya sebelum perjuangan dimulai. Justru yang universal berangkat dari ketiadaan - sebuah situasi di mana aku tak punya apapun yang membebani identitas diriku. Ada sebaris kata-kata Marx di tahun 1843 ketika ia mencoba merumuskan arti "proletariat": "Aku bukan apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi segalanya." Dari situasi ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilangnya semua kelas sebagai perumus identitas.
Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang didengarkan Kreshna: "Jangan bersikukuh ketika si lemah datang kepada Paduka." Maka mantan raja Druma, yang tak punya apa-apa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si lemah, si "bukan apa-apa", mengingatkan kita bahwa jika ada yang universal dalam manusia, itu adalah karena ia bisa hadir sebagai "segalanya". Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan selama-lamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri.
Goenawan Mohamad