Keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru tidak bisa dibilang tepat. Purnawirawan jenderal bintang tiga itu diragukan kecakapannya dalam menangani perkembangan dunia intelijen yang sudah berkembang pesat. Penunjukan tersebut juga terkesan hanya demi membalas jasa setelah Sutiyoso bersama partai yang dipimpinnya bergabung dalam koalisi pro-pemerintah.
Sutiyoso (angkatan 1968) menggantikan Letjen (Purn) Marciano Norman (angkatan 1978) yang segera habis masa jabatannya. Alasan Presiden adalah dia merasa bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan Sutiyoso, sehingga berharap selalu mendapat laporan obyektif tentang kondisi negara. Tujuannya, agar tidak salah mengambil keputusan.
Sutiyoso memang berlatar belakang dunia telik sandi, dan penunjukan Kepala BIN merupakan hak prerogatif presiden. Tapi harus diingat bahwa keterlibatan Sutiyoso dalam intelijen sudah sangat lama, yakni ketika dia masih bertugas di Kopassus pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, alias sekitar 25 tahun silam.
Usai berkarier di militer, Sutiyoso lebih banyak berkutat di birokrasi (sebagai Gubernur DKI Jakarta) dan terjun ke dunia politik. Terakhir kali ia menjabat Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sangat diragukan Sutiyoso bisa menyesuaikan diri dengan dinamika intelijen yang sudah berubah drastis.
Berbeda dengan era Orde Baru saat intelijen digunakan untuk mengawasi rakyat negeri sendiri, di era digital ini ancaman terhadap keamanan negara sangat kompleks dan bisa berasal dari mana saja. Ancaman dari luar yang dulu bersifat fisik-militer, kini ditambah dengan ancaman nonfisik dan multi-dimensi. Peperangan tak lagi hanya akan pecah di darat-laut-udara, tapi juga bergeser ke dunia maya (cyber war).
Di era digital ini, kecepatan sudah menjadi panglima. Baik kecepatan menyerap lalu lintas informasi yang demikian masif di dunia maya maupun kecepatan memperbarui teknologi informasi yang melaju sangat cepat. Dan, sebaliknya, muncul kebutuhan menjaga informasi penting agar tak ditembus "lawan". Untuk menyebut satu contoh, sebuah blog intelijen telah mampu mengendus kerepotan Pentagon menghadang serangan para cracker di dunia maya. Dan dalam waktu singkat hal ini menjadi konsumsi publik.
Sangat diragukan Sutiyoso akan cukup cakap menghadapi tantangan seperti itu. Lebih dari 20 tahun meninggalkan dunia intelijen, ia mesti melakukan beragam penyesuaian agar "klik" dengan perkembangan mutakhir. Beda jika Jokowi berani mengangkat personel dari dalam BIN-yang saat ini sudah memiliki dua deputi khusus untuk menghadapi cyber war.
Sangat mungkin pilihan Jokowi menunjuk Sutiyoso hanya karena ia ingin menyenangkan semua pihak yang telah mendukungnya naik ke kursi kepresidenan. Lagi-lagi Jokowi mengingkari janjinya yang tak akan bagi-bagi jabatan.