KETIKA Australia mengusir para pencari suaka, pemerintah Negeri Kanguru sebenarnya sedang melanggar Konvensi PBB tahun 1951. Ketika mereka membayar para pengungsi untuk menjauh dari perairan mereka, yang terjadi adalah sesuatu yang lebih menyakitkan: pelecehan terhadap kemanusiaan.
Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi menyebutkan negara tujuan pendatang tidak boleh menolak pencari suaka. Perihal akhirnya pemerintah menerima atau mengembalikan mereka ke negara asal harus diputuskan lewat proses pengadilan di darat. Mencegat di laut hanya akan membahayakan nyawa pengungsi.
Berita ini muncul pekan lalu. Seorang nakhoda kapal asal Indonesia dan lima anak buah kapal ditangkap di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Mereka membawa 65 imigran ilegal dari Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar. Kepada polisi, mereka mengaku awalnya ingin membawa para imigran itu ke Australia. Namun, di tengah jalan, mereka dicegat petugas Australia dan masing-masing dibayar Aus$ 5.000 (sekitar Rp 51 juta) untuk kembali ke Indonesia.
Pengakuan ini menggegerkan. Kementerian Luar Negeri Indonesia memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson guna menanyakan soal ini. Perdana Menteri Tony Abbott tidak menyangkal. Ia menyatakan, untuk mencegah kedatangan imigran gelap, Australia harus memakai cara apa pun. Abbott menyarankan perlunya cara-cara kreatif untuk mencegah imigran gelap.
Langkah pemerintah Abbott itu sesungguhnya bukanlah kerja kreatif, melainkan laku yang tidak manusiawi. Menyuruh puluhan orang-termasuk wanita, anak-anak, dan ibu hamil-kembali mengarungi lautan ganas dengan perahu kecil dan minim perlengkapan tidak bisa dibenarkan. Hal itulah yang dinyatakan pemimpin oposisi, Partai Buruh, Bill Shorten. Menurut dia, membayar penyelundup manusia untuk kembali berlayar membahayakan hidup para imigran.
Praktek serupa sebenarnya pernah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menolak pengungsi Myanmar, bulan lalu. Kapal-kapal pengungsi yang hampir masuk perairan Indonesia dicegat, lalu diberi pasokan bahan bakar dan makanan agar mereka bisa melanjutkan perjalanan ke Malaysia-negara tujuan mereka. Belakangan, Indonesia tidak lagi menolak, melainkan menampung pengungsi di Provinsi Aceh.
Menyuap nakhoda kapal pembawa imigran gelap sesungguhnya justru akan memperbanyak gelombang pendatang. Para pemilik kapal di pantai-pantai selatan Indonesia akan semakin tertarik memberangkatkan imigran gelap atau pengungsi ke Australia. Selain mendapatkan bayaran dari para imigran, kalau tertangkap, mereka akan mendapatkan bayaran dari petugas imigrasi Australia.
Seharusnya Australia mempelopori kerja sama kawasan untuk mengatasi problem pengungsi sejak dari tanah asalnya. Gagasan memberikan insentif investasi kepada Myanmar asalkan pemerintah dapat mengatasi persoalan penduduk minoritas muslim Rohingya, misalnya, dapat ditempuh. Pola serupa bisa pula diterapkan untuk negara asal imigran ilegal lainnya. Jika hal itu dilakukan, dunia akan mengakui bahwa pemerintah Abbott mengambil cara kreatif untuk mengatasi masalah pendatang haram itu.