DENGAN dalih apa pun, pelimpahan kasus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Kejaksaan Agung akan melemahkan gerakan pemberantasan korupsi. Tren pelimpahan yang semakin sering terjadi belakangan ini sangat memprihatinkan.
Belum lama ini, satu lagi kiriman kasus KPK mendarat di meja Kejaksaan Agung. Kasus dugaan korupsi pengadaan sarana olahraga Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang itu bahkan sudah masuk tahap penyidikan. Dua orang ditetapkan Kejaksaan sebagai tersangka. Yaitu Asisten Deputi Pengembangan Prasarana dan Sarana Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga, Brahmantony; serta mantan Direktur Utama PT Artha Putra Arjuna, Rino Lade. Keduanya diperkirakan merugikan negara Rp 76 miliar. Kasus Hambalang itu seakan melengkapi anggapan KPK "menyerah" menangani kasus-kasus penting.
Dalam kasus Hambalang, walaupun KPK berdalih kasus yang dilimpahkan hanya "cabang" dari kasus pokok yang sudah ditangani pihaknya, semestinya komisi antirasuah meneruskan kasus ini sampai tuntas. KPK perlu memastikan bahwa setelah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, juga mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum, masuk penjara, tak ada lagi pejabat tinggi yang terlibat. Dengan begitu banyak data di tangan, KPK tentu lebih mudah melanjutkan kasus ini.
Tentu orang belum lupa akan pelimpahan kasus penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang saat itu calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia, sebagai tersangka dugaan penerimaan suap dan gratifikasi. Seharusnya, bila memiliki data yang kuat, KPK berani menetapkan kembali Budi Gunawan, yang kini menjabat Wakil Kepala Polri, sebagai tersangka setelah putusan praperadilan hakim Sarpin Rizaldi membebaskan Budi dari status tersangka.
Yang lebih menyedihkan, Kejaksaan kemudian melemparkan kasus Budi Gunawan kepada Badan Reserse Kriminal Polri. Alasannya, polisi sudah menyelidiki kasus ini pada 2010. Kepolisian memang telah menyelidiki kasus ini, dengan kesimpulan yang dikritik banyak pihak: tidak ditemukan unsur pidana. Seperti dikhawatirkan banyak orang, terutama para pegiat antikorupsi, polisi kemudian menyatakan kasus ini tak layak dilanjutkan lagi. Sebuah akhir yang seharusnya "mengusik" KPK untuk bertindak lebih tegas.
Meskipun KPK sibuk dengan upaya penyelamatan diri atas kasus praperadilan yang menimpa salah satu komisionernya, Bambang Widjojanto, kesan lepas tangan perlu dihindari. Walaupun sibuk melayani gugatan praperadilan para tersangka, juga repot lantaran kasus yang menimpa mantan ketuanya, Abraham Samad, KPK tak boleh terlihat seperti kehilangan taji.
Memang tidak ada larangan bagi KPK untuk melimpahkan kasus yang ditanganinya. Dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 44 ayat 4 dinyatakan: dalam hal KPK berpendapat perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik Kepolisian atau Kejaksaan. Namun langkah tersebut hanya menunjukkan satu hal yang banyak disorot publik belakangan ini: KPK semakin tak "berdaya".
Situasi yang dihadapi KPK saat ini perlu menjadi pertimbangan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang sedang bekerja. Seleksi ketat wajib dilakukan, apalagi banyak calon berasal dari lembaga yang selama ini kerap berseberangan dengan tugas KPK. Calon yang memiliki integritas dan keberanian tinggi akan membawa KPK kembali menjadi tumpuan harapan gerakan pemberantasan korupsi.***